Berita
Oleh Alfin Pulungan pada hari Kamis, 09 Jul 2020 - 10:19:29 WIB
Bagikan Berita ini :

Anggota DPR Soroti Beban BI dalam Skema Burden Sharing

tscom_news_photo_1594259953.jpg
Anggota Komisi XI DPR Fraksi PKS, Anis Byarwati (depan) (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Anggota Komisi XI DPRAnis Byarwati meminta klarifikasi Menteri Keuangan dan Gubernur BI mengenai kebijakan BI melalui quantitative easing dengan penambahan likuiditas perbankan yang mencapai Rp 614,8 triliun.

Hal itu disampaikan dalam Rapat Kerja dengan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia soal rangka Menindaklanjuti Surat Menteri Keuangan Terkait Perkembangan Skema Burden Sharing (berbagi beban) Pembiayaan PEN di Jakarta, Senin (6/7/2020).

Menurut Anis, di lapangan quantitative easing dinilai belum efektif karena likuiditas tersebut tidak tersalurkan ke sektor riil. Ia melanjutkan, dengan penurunan BI7DRR sebesar 75 bps, juga tidak bertranmisi secara optimal pada suku bunga kredit perbankan. “Bagaimana pandangan Bank Indonesia terkait dengan hal ini ?” tanya Anis.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini menggaris bawahi beban BI yang jauh lebih besar dari beban pemerintah dalam skema burden sharing. Selain dari operasi moneter melalui quantitative easing yang sesuai dengan skema burden sharing, di mana BI menanggung beban Covid-19 untuk public good sebesar Rp 397,60 triliun, BI juga akan menanggung beban bunga hutang sebesar Rp 35,9 triliun serta ditambah remunerasi sebesar Rp 1,1 triliun.

Akibatnya, sharing beban bunga BI mencapai Rp 37,0 triliun atau 54,8% dari total beban bunga sebesar 67,6%. Ini berarti beban bunga yang ditanggung BI jauh lebih besar dari yang ditanggung pemerintah. “Bagaimana pendapat BI terkait analisis skema burden sharing yang memberikan beban kepada BI jauh lebih besar dibanding beban pemerintah atas bunga hutang?” tanyanya lagi.

Legislator dari dapil DKI Jakarta I ini mendorong agar BI memiliki skema alternatif burden sharing yang efekktif dan terukur. “Yang resikonya di luar dari skema-skema yang telah menjadi pembahasan dengan Menteri Keuangan” ungkapnya.

Sebagai informasi, meningkatkan defisit yang sangat besar untuk penanganan Covid-19 membuat pemerintah melakukan burden sharing bersama BI. Dalam Perpres 72 Tahun 2020, pemerintah menargetkan defisit anggaran Rp1.039,2 triliun atau 6,34 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sehingga ada tambahan defisit Rp732 triliun dari semula dalam APBN 2020 yang sebesar Rp307,2 triliun.

Untuk menutup defisit tersebut, pemerintah memerlukan pembiayaan utang sebesar Rp903,46 triliun. Bunga inilah yang akan ditanggung bersama antara pemerintah dan BI. Dari angka tersebut pembiayaan yang bersifat public goods seperti kesehatan, perlindungan sosial, sektoral, kementerian lembaga, dan pemda sebesar Rp397,6 triliun. Sementara yang bersifat non public goods seperti UMKM, korporasi non UMKM, dan lainnya senilai Rp505,86 triliun.

Adapun skema burden sharing yang disepakati dibagi atas empat kelompok. Kelompok pertama, public goods, bunganya akan 100% ditanggung BI. Kedua, kelompok non-public goods untuk UMKM beban bunganya akan ditanggung pemerintah menggunakan BI reverse repo rate dikurangi diskon 1%.

Skema ketiga ialah kelompok non-public goods korporasi non UMKM, beban bunganya akan ditanggung pemerintah menggunakan BI reverse repo rate. Selanjutnya, skema terakhir ialah non-public goods lainnya akan ditanggung beban bunganya 100% oleh pemerintah.

tag: #bank-indonesia  #kementerian-keuangan  #komisi-xi  #anis-byarwati  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement