JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Anggota Komisi VI DPR, Amin Ak mempertanyakan penurunan kinerja PT Phapros usai bergabung ke dalam group Kimia Farma yang menjadi holding BUMN Farmasi. Alih-alih melipatgandakan pendapatan, laba PT Phapros tahun 2019 turun menjadi Rp102,31 miliar dibanding tahun 2018 yang mencapai Rp133,29 miliar atau turun sebesar 23,2%.
Hal itu terungkap ketika Amin mengunjungi PT Phapros di Semarang, Rabu, 22 Juli 2020.
Ia menyoroti PT Kimia Farma (Persero), perusahaan induk Phapros, yang kinerjanya menurun signifikan. Mengutip laporan keuangan Kimia Farma yang disampaikan Direksi Kimia Farma saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI, Selasa (21/4) lalu, posisi laba bersih perseroan (setelah pajak) pada 2018 sebesar Rp491,56 miliar berbalik menjadi rugi bersih Rp12,72 miliar pada 2019.
Menurut Amin, market share produsen obat pelat merah itu terbilang kecil bila dibandingkan perusahaan swasta. Saat ini total pangsa pasar industri farmasi nasional mencapai sekitar Rp 88,36 triliun per tahun dan diperebutkan oleh 250-an perusahaan baik swasta maupun BUMN.
Amin Ak
Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini mendorong BUMN Farmasi untuk mencapai target penguasaan market share sebesar 10 persen yang dicanangkan saat pembentukan holding BUMN Farmasi tahun lalu. Menurut Amin, dengan pertumbuhan pasar yang mencapai 10 persen per tahun, terbuka lebar bagi BUMN Farmasi untuk melipatgandakan market sharenya secara nasional.
“Manajemen Phapros harus memperbaiki kinerjanya. Jangan kalah gesit dari perusahaan swasta. Janji untuk menurunkan impor bahan baku obat juga harus segera direalisasikan,” kata Amin dalam siaran pers, Kamis, 23 Juli 2020.
Lebih jauh legislator dari daerah pemilihan Jawa Timur IV ini mengungkapkan, BUMN Farmasi wajib memperkuat riset dan pengembangan, baik dari sisi sumber daya manusia maupun anggarannya agar mampu mendongkrak tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) industri obat-obatan dan alat kesehatan. Dengan riset yang kuat, pemanfaatan sumber bahan baku obat di dalam negeri bisa ditingkatkan sehingga kemandirian industri farmasi bisa diwujudkan.
“Setiap tahun devisa kita terkuras lebih dari US$2 miliar atau sekitar Rp28 triliun untuk impor bahan baku obat. Padahal keanekaragaman hayati Indonesia sangat besar dan berlimpah, terbesar kedua di dunia setelah Brasil,” pungkasnya.