Berita
Oleh Gde Siriana Yusuf Komite Politik dan Pemerintakan KAMI pada hari Sabtu, 26 Sep 2020 - 21:53:41 WIB
Bagikan Berita ini :

Rasionalisasi Pilkada dan Arogansi Kekuasaan

tscom_news_photo_1601132021.jpeg
Gde Siriana Yusuf (Sumber foto : Istimewa)

Pemerintah dan Parpol merasa terancam dengan tuntutan masyarakat untuk menunda Pilkada di saat kasus Covid19 terus meningkat. Sehingga mereka melakukan pertahanan diri.

Yang akhir-akhir ini disampaikan adalah rasionalisasi, yaitu mekanisme pertahanan diri untuk mengubah persepsi masyarakat terhadap Pilkada.

Secara teoritis, Rasionalisasi merupakan tindakan mencari pembenaran untuk suatu alasan yang dianggap masuk akal sebagai landasan suatu perilaku atau kebijakan tertentu.

Tujuan rasionalisasi Pilkada adalah Pemerintah & DPR memberi toleransi tindakannya sendiri untuk menjalankan Pilkada meski banyak kalangan masyarakat menghendaki penundaan Pilkada.

Setidaknya ada 3 pernyataan pemerintah yang merupakan bentuk rasionalisasi Pilkada.

Pertama pernyataan, Sekjen PDIP Hasto bahwa saat resesi tidak diperkenankan daerah dijabat oleh Plt. Kedua, pernyaatan Presiden yang diwakili oleh Jubir Istana Fadjroel Rahman, bahwa Pilkada adalah hak konstitusional rakyat untuk dipilih dan memilih. Dan ketiga pernyataan Mendagri Tito bahwa Pilkada 2020 dapat membangkitkan ekonomi.

Ketiga pernyataan di atas jelas merupakan bentuk rasionalisasi atas agenda Pilkada 2020. Persepsi masyarakat luas bahwa momen Pilkada dapat membentuk klaster baru penyebaran Covid19 ingin dipatahkan dengan berbagai alasan lain seperti birokrasi daerah, demokrasi & ekonomi.

Persoalannya adalah seberapa kuat rasionalisasi itu mengubah persepsi, toleransi dan urgensi yang dipahami masyarakat? Bagaimanapun Covid19 telah memukul psikologis masyarakat, ketakutan akan tertular dan ketakutan akan hancurnya ekonomi masyarakat. Maka kegagalan dalam rasionalisasi suatu kebijakan yang ditentang publik akan memunculkan persepsi publik yaitu arogansi kekuasaan.

Meskipun ada ada anggaran Pilkada yang memberi efek trickle down ke daerah-daerah, yang ini dipercaya Pemerintah, ini hanya akan menjadi terapi sesaat saja untuk sejenak melupakan persoalan yang sebenarnya.

Bagaimanapun juga semua persoalan harus diselesaikan dengan solusi yang didesign untuk menjawab persoalan itu. Jangan yang gatal di mana, yang digaruk di mana.

Jika untuk membangkitkan ekonomi, buatlah kebijakan yang tepat dan terukur untuk bangkitkan ekonomi, jangan menumpang pada anggaran Pilkada yang tujuannya untuk membangun demokrasi.

Jika bicara hak konstitusi, maka bertanyalah pada masyarakat apakah hak konstitusi mereka untuk tetap sehat dan hidup layak untuk bertahan saat krisis sudah terpenuhi?

Jika ada aturan yang melarang Plt di pemerintahan daerah saat krisis, mana coba tunjukkan. Jika dianggap Plt tidak punya kewenangan strategis, apakah salah jika dibuat Perppu untuk mengatur itu untuk sementara waktu selama krisis.

Inilah cara kita melihat masalah case by case dengan solusinya masing2. Jangan melihat suatu masalah lalu semua alasan digabung-gabungkan agar pembenarannya terkesan makin rasional. Justru sebaliknya. Ibarat dokter kasih resep ke orang sakit A, tapi obat penyakit B, C dan D juga dimasukkan dalam resep agar pasien makin yakin obat ini manjur. Sy kuatir, jika kondisinya seperti ini, yang terjadi kemudian adalah saling menyalahkan atau mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain jika apa yang dikuatirkan masyarakat bhw Pilkada meningkatkan penularan Covid19 benar terjadi.

tag: #gde-siriana-yusuf  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement