JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan komunikasi CISSReC Pratama Persadha memandang peran buzzer tetap akan diperlukan pada masa kampanye pilkada 2020. Para pasangan calon (paslon) memanfaatkan para pendengubg ini antara lain untuk "menggoreng" isu demi kepentingan kelompoknya.
Pratama mengungkapkan kebutuhan Buzzer semakin besar terlebih di musim pandemi ini mengingat paslon dan timnya makin kesulitan untuk turun kampanye ke lapangan.
"Buzzing atau mendengungkan isu dari timses lewat medsos dan platform lain di internet sangat dibutuhkan keberadaan-nya," kata Pratama kepada wartawan, Selasa 29 September 2020.
Pratama yang pernah menjabat Ketua Tim Lembaga Sandi Negara (sekarang BSSN) Pengamanan Teknologi Informasi (TI) KPU pada Pemilu 2014 lantas mengungkapkan aktivitas buzzer meliputi kampanye positif, kampanye negatif terhadap lawan, bahkan juga ada operasi untuk mengangkat kampanye hitam.
Pratama Persadha
Oleh sebab itu, ia melanjutkan, KPU seharusnya membatasi gerak pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah di media sosial dengan melarang adanya iklan politik lewat medsos meski hal itu sulit dicegah, apalagi jika timses kontestan menggunakan akun nonpolitik untuk memasang iklan.
Pratama mencontohkan Facebook yang membatasi iklan politik dengan mewajibkan pengiklan menyertakan nomor induk kependudukan (NIK) dan nomor pokok wajib pajak (NPWP). Tanpa meng-input data tersebut pengiklan tidak bisa mengakses dashboard dan fitur iklan di Facebook maupun Instagram.
Pratama menilai Buzzer akan sangat efektif digunakan paslon jika diterapkan di kawasan masyarakat perkotaan. Menurutnya, hal itu mampu menaikkan tingkat keterpilihan paslon.
Namun yang perlu diketahui, lanjut Pratama, buzzer tidak selalu seperti akun triomacan2000, tetapi juga bisa dilakukan oleh para artis maupun orang yang punya nama di media sosial.
"Ada pesan yang dituju dalam setiap kegiatan ataupun postingan mereka sesuai dengan kesepakatan dengan klien," katanya
Mengenai buzzer anonim, Pratama menilai mereka tidak selalu melakukan kerja-kerja negatif. Bahkan, banyak yang sebatas melakukan share ulang maupun melakukan retweet, lalu banyak pula buzzer untuk menambah engagement, seperti melakukan komentar maupun likes.
Pratama juga mengatakan tak mudah dilakukan pelacakan terhadap akun anonim karena biasanya aktivitas mereka bertautan dengan akun-akun lain.