JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Pakar hukum dari Universitas Borobudur, Faisal Santiago menilai revisi Undang-undang Kejaksaan Nomor 16 Tahun 2004 ingin menjadikan lembaga Adhyaksa sebagai superbody dalam penegakan hukum. Sebab, ada beberapa poin yang masih menjadi kontroversi.
“Saya melihat ada poin-poin yang bisa menjadi perdebatan. Saya perhatikan, RUU (Kejaksaan) ini lebih ingin menjadikan Kejaksaan ingin menjadi lembaga superbody dalam penegakan hukum,” kata Faisal kepada wartawan pada Rabu, 20 September 2020.
Misalnya, kata Faisal, mengenai perlindungan dan jaminan keamanan jaksa. Padahal, dalam UUD RI 1945 jelas dikatakan semua warga negara berhak mendapatkan perlindungan, equality before the law, atau sama dimata hukum.
“Artinya, jaksa juga sama kalau ada perbuatan menyimpang dari hukum wajib pula mendapat sanksi hukum,” ujarnya.
Menurut dia, kewenangan pengesampingan perkara yang dilimpahkan dari Jaksa Agung kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) ini karena adanya kekuatan dari atasan untuk mengenyampingkan suatu perkara.
Sebab, pemeriksaan terhadap jaksa baik sebagai saksi maupun tersangka serta tidak dapatnya dilakukan penegakan hukum perdata maupun pidana harus seizin Jaksa Agung.
“Ini juga menandakan JA mempunyai power yang berlebihan. Kewenangan penyadapan yang diberikan kepada jaksa dalam keterlibatan pada pengawasan ketertiban umum, ini wilayah KPK,” jelas dia.
Dalam Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Kejaksaan Nomor 16 Tahun 2004, disebutkan bahwa jaksa yang diduga melakukan tindak pidana maka pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap jaksa yang bersangkutan hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.
Sementara, Pasal 8 ayat (5) RUU Kejaksaan RI disebutkan bahwa dalam hal melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan Jaksa hanya dilakukan atas izin Jaksa Agung.