JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof. Hariyono, mengungkapkan santri merupakan kaum pelajar yang ulung dan relatif bersikap terbuka terhadap wacana keilmuan. Ia tidak sepakat jika santri dipandang sebagai kaum yang kolot dan cenderung ekslusif hanya karena tinggal di lingkungan pesantren yang jauh dari dunia luar.
Justru, kata Hariyono, istilah santri itu mengacu pada orang-orang yang gemar belajar dan tekun berguru kepada siapapun. Dalam bahasa Jawa, kata santri ditautkan dengan kata cantrik yang bermakna "orang atau murid yang selalu mengikuti gurunya". Tradisi dalam pesantren, umumnya mendidik para santrinya untuk mencari ilmu kepada banyak guru atau kiai.
"Dalam beberapa literatur, umumnya santri itu adalah pembelajar, dan ketika ia belajar relatif inklusif, relatif bisa menerima informasi yang baru, baik sifatnya rasional, sekuler sampai yang sifatnya mistik. Mayoritas santri itu belajarnya pada banyak guru," kata Hariyono dalam Webinar Hari Santri Nasional bertema "Nasionalisme Santri, Ketahanan Pancasila dan Indonesia yang Kuat", Kamis, 22 Oktober 2020.
Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Malang ini menuturkan, kendati santri sering dilekatkan pada orang-orang muslim yang notabene menempuh pendidikan di pesantren, namun istilah santri bisa ditafsirkan secara luas. "Yaitu orang yang berjiwa pembelajar," katanya.
Hariyono mengatakan hal itu karena melihat dikotomi antara kaum abangan dengan santri seringkali dijadikan komoditas politik atas status sosial hingga menimbulkan penajaman konflik di tanah Jawa. Baik santri di pesantren maupun kaum abangan, keduanya menurut Hariyono tidak meniscayakan penegasian terhadap karakter kesantrian.
"Karena ada seolah-olah kalau santri itu bukan abangan, bukan nasionalis. Dan kalau nasionalis itu abangan, bukan santri," ujarnya.
Soal tokoh berpengaruh yang datang dari kaum santri, Hariyono mencontohkan beberapa tokoh sejarah yang jarang diketahui publik. Ronggowarsito, misalnya, merupakan tokoh yang sangat dikenal di dalam budaya Jawa. Banyak orang yang tidak mengetahui bahwa pujangga beraliran sufistik inj adalah alumni Pesantren Tegal Sari Ponorogo.
Bahkan Ki Hajar Dewantara yang dikenal sebagai bapak pendidikan, kata Hariyono, adalah juga seorang santri di masa mudanya. "Ia juga menjadi santri di Pondok Pesantren Klasan Prambanan di bawah bimbingan Kiai Sulaiman Zainuddin Abdurrahman," kata Hariyono.
Di luar mereka, masih banyak santri yang menjadi tokoh berpengaruh. Hariyono mengatakan pencapaian mereka menandakan karakter santri yang inklusif dan jauh dari kejumudan.
"Kalau sekarang muncul istilah pendekatan interdisipliner atau transdisipliner (dalam pendidikan), santri sejak dulu sudah melakukan hal itu," ujarnya.
Lebih jauh Hariyono mengungkapkan, nilai-nilai kesantrian di Indonesia dikembangkan dalam aspek karakter dan integritas. Sehingga, kata dia, jika orang membayangkan santri, hal itu tertuju pada orang pelajar yang hidupnya sederhana.
"Karena keterlibatan dia di dalam kehidupan yang sangat bersahaja inilah, komitmen, kepekaan sosial tehadap orang lain itu menjadi tinggi," kata Hariyono.