JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Presiden Jokowi menegaskan rencana impor beras tidak akan dilakukan setidaknya hingga Juni 2021. Tak hanya itu, Jokowi juga menginstruksikan agar hasil panen para petani diserap dengan maksimal.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi VI DPR RI I Nyoman Parta mengaku antusias dengan sikap presiden Jokowi yang membatalkan rencana impor beras yang digagas Kementerian Perdagangan (Kemendag).
"Kami mengapresiasi kebijakan presiden tentang tidak dilakukannya impor beras saat ini. Kami juga mengapresiasi sikap pak Jokowi yang memberi perintah kepada menteri keuangan agar memberikan uang kepada Bulog untuk membeli gabah petani," kata Politikus PDIP itu kepada wartawan, Sabtu (27/03/2021).
Menurutnya, perintah presiden Jokowi kepada bawahannya agar menyerap dan membeli gabah para petani dengan harga yang wajar merupakan cerminan bahwa negara hadir ditengah rakyatnya.
"Ini langkah yang sangat tepat, bukan saja untuk mencegah kerugian bagi petani, tapi upaya yang sungguh-sungguh mewujudkan kedaulatan pangan," tandas Legislator dari dapil Bali I itu.
"Bulog butuh uang untuk beli gabah kemudian disimpan sebagai Cadangan Beras Pemerintah (CBP) untuk menjaga ketersediaan beras dan stabilatas harga," sambungnya.
Memang sudah seharusnya, kata dia, Bulog sebagai badan penyangga pangan yang tentu saja berurusan dan berhadapan langsung dengan petani perlu didukung dari berbagai aspek termasuk dukungan pendanaan yang memadai.
"Bulog itu selama ini membeli gabah petani dengan pinjaman komersial dari Bank, hasil dari pinjaman itu digunakan Bulog untuk membeli gabah para petani, digunakan untuk biaya perawatan atau menyimpan beras sekaligus menjaga stabilitas harga agar tidak terjadi kenaikan inflasi. Jadi sekali lagi sangat layak Bulog ini untuk dibantu dana talangan oleh pemerintah untuk menjaga CBP," tegasnya.
Urusan pangan dalam hal ini beras, menurutnya, perlu ada sinergi antar Kementerian dan lembaga terkait.
"Kementerian Pertanian harus segera melakukan pembenahan sektor pertanian terutama berkaitan dengan biaya produksi yang tinggi. Konon biaya produksi yang dikeluarkan petani kita lebih besar 2 kali lipat lebih dari biaya produksi petani di Vietnam dan Thailand. Sehingga harga beras dinegara itu rata-rata Rp 5.500 sampai Rp6000," ungkapnya.
"Karena biaya produksinya murah dan mereka lebih banyak menggunakan pupuk organik," tambahnya.
Apa yang diterapkan di Vietnam dan Thailand soal managemen pangan berbasis ramah lingkungan, jelas dia, sangat berbanding terbalik dengan yang diterapkan di Indonesia.
"Sedangkan di kita ketergantungan dengan pupuk kimia, jika biaya produksi bisa ditekan dan harga gabah antara Rp4000 sampai Rp4500, maka petani lebih diuntungkan dan beras organik akan bisa bertahan lebih lama," pungkasnya.