SUKOHARJO (TEROPONGSENAYAN) --Pada umumnya, orang melihat nasionalisme hanya pada satu sisi, seperti chauvinisme atau cinta berlebihan terhadap tanah air. Dalam konteks kekinian, nasionalisme mejadi penangkal dari efek negatif globalisasi.
“Nasionalisme yang dibingkai Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Pancasila menjadi sangat penting, ketika negara mengalami krisis ekonomi dan kesehatan akibat pandemi Covid-19,” ujar anggota Komisi VI DPR RI Singgih Januratmoko. Politisi Golkar itu menyebut, pandemi menyadarkan bangsa Indonesia mengenai sosio-nasionalisme.
Menurut Singgih sosio-nasionalisme sebagaimana dipaparkan Bung Karno, adalah nasionalisme yang menempatkan seluruh bangsa sederajat, antikolonialisme, dan bersifat humanistik, “Jadi ketika negara-negara maju, cenderung menahan vaksin buatannya tanpa menghiraukan negara-negara lain yang membutuhkan, di sinilah pentinganya sosio-nasionalisme itu,” ujar Singgih.
Menurutnya, pengembangan vaksin harus diupayakan dipercepat. Pasalnya, terdapat kecenderungan negara-negara maju, menggunakan vaksin sebagai alat penekan dengan alasan kebutuhan dalam negeri mereka juga meningkat. Sementara negara-negara di belahan bumi lain harus melawan Covid-19 tanpa ketercukupan vaksin.
Covid-19 menunjukkan, bagaimana globalisasi – yang salah satunya juga membawa wabah – juga menjadi tantangan kebangsaan, “Politik vaksin menunjukkan bagaimana globalisasi yang makin luas, juga menciptakan persaingan antarbangsa yang kian tajam. Hal tersebut juga saya sampaikan saat sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan di Sukoharjo, 4 Juli lalu,” ujar Singgih.
Untuk itu, menurutnya, pengembangan vaksin menjadi sangat strategis dalam bingkai kedaulatan. Tantangan kebangsaan saat ini, menurut Singgih ada dua khal: tantangan eksternal dan internal. Tantangan eksternal diakibatkan globalisasi yang membawa dampak positif dan negatif.
“Dampak positifnya adalah meningkatkan daya saing sekaligus transfer teknologi. Namun, bila kita tidak siap, produk-produk dalam negeri yang belum siap bersaing akan tergerus. Akibatnya, kesejahteraan masyarakat terancam,” papar Singgih. Masalah vaksin itu, bila dipahami secara sosio-nasionalisme menjadi pengingat pentingnya bangsa Indonesia tak bergantung dengan vaksin dari negara lain.
Sementara dari sisi internal, menurut Singgih, yakni berupa masih lemahnya pemahaman agama, sehingga dipahami secara sempit dan keliru, “Hal ini menyebabkan sekelompok agama tertentu menjadi tidak toleran, tidak bisa menghormati perbedaan, dan tak bisa bergaul dalam masyarakat dengan baik. Pandangan sempit ini mengganggu sendi-sendi bangsa, terutama Empat Pilar Kebangsaan,” imbuhnya.
Selain agama, fanatisme kedaerahan juga mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara, “Indonesia terdiri beratus-ratus suku dan bahasa serta bahkan agama. Bila suatu suku merasa lebih dari suku yang lainnya, persatuan dan kesatuan bangsa bakal runtuh. Padahal persatuan dan kesatuan bangsa itu modal sosial membangun negeri ini,” ujar Singgih.
Keberagaman suku dan agama di Indonesia, dan mampu menjadi satu dalam Bhinneka Tunggal Ika merupakan rahmat Allah, demikian lanjut Singgih, “Tak ada negeri seperti Indonesia di muka bumi. Bagi negara lain, Indonesia sangat istimewa. Untuk itu perlu dilestarikan dan _dimomong_,” pungkasnya. Salah satu jalan melestarikan adalah tidak merasa lebih unggul satu sama lain.
Ia juga mengatakan, pentingnya para tokoh agama, pemerintah, dan tokoh masyarakat bahkan pelaku media sosial menjadikan dirinya contoh dan teladan, “Kita semua harus menahan diri berkomentar yang menyinggung suku, agama, dan ras. Itu bisa melukai bangsa ini, dan meruntuhkan ikatan kita sebagai satu bangsa,” tutup Singgih.