JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak memberikan buka suara soal rencana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) bahan pokok atau sembako dan jasa pendidikan. Dalam akunnya di Instagram, Ditjen Pajak mengungkapkan fakta terkait isu yang bikin heboh dalam beberapa hari tersebut.
Ditjen Pajak menjelasakan, faktanya adalah bahwa pengecualian dan fasilitas PPN yang diberikan saat ini tidak mempertimbangkan jenis, harga, dan kelompok yang mengonsumsi, sehingga menciptakan distorsi.
Sebagai contoh, beras, daging atau jasa pendidikan, apapun jenis dan harganya, semuanya mendapat fasilitas tidak dikenai PPN saat ini. Akibatnya, konsumsi beras premium dan beras biasa sama-sama tidak kena PPN.
"Konsumsi daging segar wagyu dan daging segar di pasar tradisional, juga sama-sama tidak kena PPN," tulis Ditjen Pajak, dikutip Minggu (13/6/2021).
Begitu juga dengan les privat berbiaya tinggi dan pendidikan gratis, sama-sama tidak kena PPN. Padahal, konsumen barang-barang tersebut punya daya beli yang berbeda jauh, sehingga fasilitas PPN tidak dikenakan atas barang atau jasa tersebut menjadi tidak tepat sasaran.
"Orang yang mampu bayar justru tidak membayar pajak karena mengonsumsi barang atau jasa yang tidak dikenai PPN," ujarnya.
Karena itu, pemerintah saat ini menyiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang berisi konsep reformasi perpajakan, antara lain tentang reformasi sistem PPN. Sistem baru ini diharapkan bisa memenuhi rasa keadilan dengan mengurangi distorsi dan menghilangkan fasilitas yang tidak efektif, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pajak dan optimalisasi pendapatan negara.
"Pemerintah tetap mengedepankan asas keadilan untuk setiap kebijakan perpajakan termasuk pengenaan PPN atas sembako ini," katanya.