JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Anggota Komisi VI DPR RI, Amin Ak menilai, pemerintah kurang serius mengembangkan dan memperkuat industri agro.
Hal itu tercermin dari pagu indikatif anggaran Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tahun 2022 di dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro (KEM) dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) 2022.
Untuk pos program nilai tambah dan daya saing Industri hanya mendapat anggaran sebesar Rp475,3 miliar, atau sekitar 18% dari total pagu indikatif Kemenperin sebesar Rp2,611 triliun.
Sedangkan Direktorat Jenderal Industri Agro tahun 2022 hanya mendapat alokasi sebesar Rp100 miliar, itupun sudah termasuk belanja pegawai.
Upaya membangkitkan industri tanah air, khususnya Industri Agro dari keterpurukan selama pandemi COVID-19, pos program nilai tambah dan daya saing industri seharusnya dilipatgandakan.
Menurut Amin, penguatan dan optimalisasi industri agro sangat penting karena empat hal yaitu menjaga ketahanan pangan, mengurangi ketergantungan pada produk impor, stabilisasi harga bahan kebutuhan pokok dan industri makanan dan minuman (mamin), serta meningkatkan nilai tambah produk berbasis pertanian dan perikanan.
“Penguatan industri agro bukan hanya memangkas defisit neraca perdagangan, namun juga menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan petani dan nelayan,” bebernya, Senin, (14/6/2021).
Amin mengingatkan, pandemi Covid-19 yang diikuti krisis ekonomi di hampir semua negara bakal diikuti krisis pangan karena kegiatan produksi maupun distribusi yang terganggu. Sejumlah negara produsen pangan memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dalam negerinya.
Hasil kajian Oxford Economics di Asia Tenggara mengungkapkan, meskipun sektor pangan berbasis pertanian (agri-food) menyumbang lebih dari sepertiga total produk domestik bruto, di saat yang sama sektor tersebut paling rentan terhadap gangguan.
Matriks dari laporan Economic Recovery menempatkan Indonesia dengan risiko pemulihan tertinggi di kawasan Asia Tenggara.
“Penguatan industri agro bukan saja memastikan pemenuhan kebutuhan dalam negeri, namun memberi Indonesia peluang meraup devisa lewat peningkatan ekspor,” ujar Wakil Rakyat dari Dapil Jatim IV itu.
Sayangnya, kata Amin, pemerintah cenderung memilih jalan pintas dengan memilih kebijakan impor untuk mengamankan pasokan maupun mengendalikan harga pangan ketimbang memperkuat industri agro di dalam negeri.
Tahun 2021 ini, pemerintah merencanakan importasi garam sebanyak 3,07 ton, impor kedelai 2,6 juta ton, dan impor jagung sekitar 1 juta ton. Kemudian impor 1 ton beras yang setelah diprotes publik diralat tidak akan ada impor hingga Juni 2021.
Belum lagi impor daging dan bawang putih yang jumlahnya mencapai ratusan ribu ton. Selanjutnya impor gula (raw sugar) tahun lalu melonjak menjadi 5,54 juta ton dari tahun sebelumnya sebanyak 4,09 juta ton.
Padahal tidak ada tanda-tanda lonjakan konsumsi gula rumah tangga, bahkan industri Mamin yang merupakan pengguna gula terbanyak, pertumbuhannya malah anjlok dari 7,8% pada 2019 menjadi 1,6% pada 2020.
“Mengapa pemerintah tidak kunjung membenahi industri gula mulai dari hulu (perkebunan rakyat) hingga hilir (restrukturisasi pabrik gula) untuk mengurangi ketergantungan impor? Di negara seliberal Amerika saja, pemerintah lebih memilih melindungi petani dan industri dalam negerinya,” kata Amin.
Ia pun mendesak pemerintah untuk memperkuat pemenuhan kebutuhan bahan baku industri agro dengan bersungguh-sungguh membenahi kegiatan hulu (produksi bahan baku) dan rantai pasok serta sistem logistiknya.
Selain itu, pemerintah pun harus membuktikan slogan bangga buatan Indonesia dengan memfasilitasi penyerapan produksi industri agro di dalam negeri.
Digitalisasi industri agro, khususnya lini pemasarannya, menjadi kunci peningkatan serapan produk industri dalam negeri. Sedangkan untuk meningkatkan ekspor produksi industri agro pemerintah harus melakukan penyederhanaan aturan ekspor.