JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap kelompok sembilan bahan pokok (Sembako) bukan untuk pasar tradisional yang diungkapkan Dirjen Pajak akan menimbulkan kebingungan.
Komite Eksekutif KAMI, Gde Siriana Yusuf melihat, ada dua kebingungan yang akan muncul jika kebijakan ini diterapkan.
"Menurut saya lebih tepat jika keadilan pajak diterapkan pada pajak penghasilan PPh di mana orang berpenghasilan tinggi dikenakan lebih besar persentase pajaknya, dan layer progresifnya lebih banyak," kata Gde, Selasa (15/6/2021).
Pertama, produsen Sembako premium akan mengalihkan distribusinya ke pasar tradisional. Menurutnya, produsen akan menurunkan harga agar dapat dibeli oleh pasar tradisional.
Kedua, perubahan pola konsumen. Sebabnya, masyarakat akan beralih ke pasar tradisional karena dianggap lebih mahal jika belanja di supermarket.
Analisa Gde, jika memang ingin mengenakan tarif PPN lebih tinggi di supermarket, maka pemerintah harus siap dengan konsekuensi supermarket akan banyak yang tutup.
"Sudah siap jika kemudian banyak modern outlet tutup karena pembeli beralih ke pasar tradisional. Tentu ini harus dipikirkan dampak penganggurannya," ujar Gde.
Gde juga mempertanyakan apabila kebijakan ini diberlakukan, bagaimana kalau pembeli Sembako di Pasar Tradisional adalah mereka yang masuk kategori ekonomi kaya.
Dalam pandangan Gde, pemerintah harus belajar dari penjualan bahan bakar minyak subsidi yang dibeli orang kaya.
Sebelumnya, Dirjen Kemenkeu menyampaikan bahwa wacana pengenaan PPN terhadap Sembako hanya untuk supermarket. Sedangkan untuk pasar tradisional tidak dikenakan pajak.