JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Jawa Timur, Sunardi Edy Sukamto menilai, argumen yang dibangun sejumlah anggota DPRD Jawa Timur bahwa dengan lahirnya Permenperin 03/2021 menyebabkan ongkos produksi perusahan atau industri Mamin di Jatim jadi membengkak merupakan argumen yang tanpa dasar dan tidak didasarkan pada kajian yang memadai.
"Pemerintah membuat aturan berdasarkan kajian dan hitungan yang jelas. Dan pemerintah memberikan ijin tugas untuk pemenuhan kebutuhan gula Rafinasi dari bahan baku import raw sugar kepada 11 pabrik Rafinasi yang sudah ada dan dengan pembatasan, tentu saja kajian dan hitungannya sudah memadai," jelas Edy kepada wartawan, Jumat (17/06/2021).
Dan tentu saja, menurutnya, penugasan tersebut meliputi tanggungjawab wilayah penyaluran dan pendistribusian nasional mulai ujung barat sampai ujung timur NKRI dengan subsidi silang margin mereka apalagi mereka untung besar.
"Pemerintah saja bisa bikin aturan BBM satu harga. Apalagi 11 pabrik rafinasi ditugasi dengan untung besar pasti lebih piawai melaksanakan tugas tersebut contohnya wilayah Jawa 1 harga," ungkapnya.
Jadi, kata Edy, kalau DPRD memahaminya salah maka menghitungnya juga akan salah.
Menurutnya, klaim bahwa 20 persen penyediaan lahan untuk penanaman tebu secara bertahap selama 5 tahun sampai pada akhirnya cukup memenuhi kapasitasnya pada tahun ke 5, artinya tahun ke 6 sudah tidak dapat komisioning raw sugar juga kurang masuk akal.
"Lhaa kalau 20% tebunya terus sisanya masih dari impor raw sugar dan atau ambil tebu daerah lainnya kan tidak benar. Apa iya dengan 20% nanam tebu pabrik bisa untung? Pertanyaannya, terus bahan baku yang 80% dari mana, mestinya akal sehat yang harusnya di pakai," sambungnya.
Harusnya, kata dia, kehadiran pabrik gula baru di Jatim dapat membantu dan menggenjot produksi gula untuk kebutuhan masyarakat Jatim.
"Tapi kalau hadirnya invest pabrik baru hanya untuk mematikan pabrik lama, Ngapain (ini masuk daftar investasi Negatif). Sejatinya swasembada itu padahal menambah atau meningkatkan jumlah produksinya, ini yang terjadi justru sebaliknya. Sebelum ada pabrik swasta baru, luas tanam kita mencapai 210rb hektar dengan produksi gula 1jt sampai 1.2 jt ton. Sekarang dengan adanya pabrik baru luas tanam cenderung menurun dan produksi gula juga menurun, salah satunya karena gula Rafinasi rembes ke pasar," ungkapnya.
Edy menambahkan, sebelum adanya Permenperin 03/2021, instrument atau aturan yang dibuat pemerintah saat itu kurang kuat.
"Dan lebih parah lagi pengaturan izin soal pabrik gula kurang memadai sebelum adanya Permemperin 03/2021. Bayangkan satu pabrik lahir 2 macam gula ada Gula Kristal Putih (GKP) dan Gula Kristal Rafinasi (GKR) apalagi dengan GKP dapat penugasan bahan baku raw sugar import, ini kan sama saja mematikan industri gula berbasis tebu rakyat. Dengan hadirnya Permenperin 03/2021 persoalan itu mulai dibenahi," tandasnya.
Selain itu, kata Edy lagi, sebelum lahirnya Permenperin 03/2021, tatakelola gula khususnya pengawasan kurang kuat ketika ada kecurangan-kecurangan misalnya.
"Bagaimana penegak hukum membedakan pelanggarannya dan bagaimana mengaudit itu, sebelum terbitnya Permenperin 03/2021 agak susah melakukan audit dan pengawasan, mereka bisa leluasa dimana gula raw sugar bisa diproses ke GKP. Terus suruh bersaing, pertanyaaannya gimana mereka bisa jual gula lebih murah?Sementara Harga Pokok Pembelian (HPP) petani tinggi, tenaga kerja mahal, pupuk mahal apalagi subsidi susah bahkan tebu hampir punah tidak dapat subsidi sewa lahan dan kalah saing. Sementara pemerintah menghitung Biaya Beban Produksi (BBP) komponennya pupuk subsidi," tandasnya.
"Apa ini yang di inginkan dan di tunggu matinya industri dalam negeri berbasis tebu. Kalau sudah petani mati dan tidak tanam tebu, berharap import terus lebih murah. Kalau sudah lumpuh dan tergantung maka tinggal nunggu negara di bunuh ekonominya oleh negara lain," sambungnya.
Edy juga menduga, pembelian tebu hasil panen petani dengan harga tinggi sebagai siasat belaka agar mendapat jatah impor gula rafinasi.
"Rendemen tinggi bolehlah dinikmati petani yang setor namun itu hanya untuk mengelabui bahwa 2 PG tersebut sudah cukup memenuhi syarat tebu namun berharap 80% bahan baku kekurangannya di beri ijin import," tandasnya.
Sekali lagi, Edy menegaskan, hadirnya Permemperin no 3 tahun 2021 itu sudah tepat dan sebagai instrument bagi masyarakat dan penegak hukum dalam pengawasan terhadap peredaran gula sesuai jenis dan peruntukannya.
"Karena gula masuk dalam barang yang di awasi atau dalam pengawasan oleh negara. Peraturan di tetapkan untuk melindungi dan menjaga semua pihak supaya program swasembada bisa tercapai tentunya secara bertahap mengurangi impor dan menaikkan produksi dengan menjamin kelangsungan budidaya tanaman tebu dan pabriknya," pungkasnya.