JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)-Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna khawatir, tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunganya telah melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara. "Memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang," ujar Agung dalam Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (22/6).
BPK melaporkan, realisasi pendapatan negara dan hibah di tahun lalu sebesar Rp 1.647,78 triliun. Sementara itu, realisasi belanja negara tahun lalu sebesar Rp 2.595,48 triliun. Hal itu membuat defisit anggaran tahun 2020 dilaporkan sebesar Rp 947,70 triliun atau 6,14 persen dari PDB.
Meski demikian, realisasi pembiayaan tahun 2020 mencapai Rp 1.193,29 triliun atau sebesar 125,91 persen dari nilai defisitnya. Sehingga, terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) sebesar Rp 245,59 triliun.
BPK mengungkapkan bahwa utang tahun 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan/atau International Debt Relief (IDR) yakni, rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35 persen.
Selanjutnya, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-19 persen. Serta rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen.
Hingga akhir Desember 2020, total utang pemerintah sudah mencapai Rp 6.074,56 triliun. Posisi utang ini naik cukup tajam dibandingkan dengan akhir tahun 2019 lalu. Dalam satu tahun, utang Indonesia bertambah Rp 1.296,56 triliun dari akhir Desember 2019 yang tercatat Rp 4.778 triliun.
Realisasi pendapatan negara dan hibah di tahun lalu sebesar Rp 1.647,78 triliun atau mencapai 96,93 persen dari anggaran. Ini terdiri dari realisasi penerimaan perpajakan yang sebesar Rp 1.285,14 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 343,81 triliun, dan penerimaan hibah sebesar Rp 18,83 triliun.
Penerimaan perpajakan sebagai sumber utama pendanaan APBN hanya mencapai 91,5 persen dari anggaran atau turun sebesar 16,88 persen dibandingkan dengan 2019.
Sementara itu, realisasi belanja negara tahun lalu sebesar Rp 2.595,48 triliun atau mencapai 94,75 persen dari anggaran, yang terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp 1.832,95 triliun, transfer ke daerah sebesar Rp 691,43 triliun, dan dana desa sebesar Rp 71,10 triliun.
Meski demikian, realisasi pembiayaan di tahun lalu mencapai Rp 1.193,29 triliun atau sebesar 125,91 persen dari nilai defisitnya. Sehingga, terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp 245,59 triliun.
"Realisasi pembiayaan tersebut terutama diperoleh dari penerbitan Surat Berharga Negara, Pinjaman Dalam Negeri, dan Pembiayaan Luar Negeri Sebesar Rp 1.225,99 triliun, yang berarti pengadaan utang tahun 2020 melebihi kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit," kata Agung.
Penjelasan Bappenas
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Suharso Monoarfa mengatakan rasio utang terhadap penerimaan yang melebihi batas ketentuan IMF bukan hanya Indonesia saja, tetapi hampir seluruh negara selama pandemi ini utangnya meningkat signifikan.
"Pengelolaan utang kita dari tahun ke tahun tetap terjaga meskipun memang ada rasio-rasio yang kita ikutkan dari IDR, IMF, World Bank. Tapi kalau kita lihat negara lain juga saya kira hampir tidak ada negara yang standarnya dipenuhi baik standar IMF maupun standarnya IDR," ujar Suharso saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (23/6/2021).
"Kalau kita hitung berdasarkan debt ratio terhadap penerimaan negara, memang relatif tinggi. Inilah yang jadi PR kita bersama, bagaimana menurunkannya ke depan," katanya.