JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)-Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menilai Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang sedang dalam proses pengkajian di Baleg DPR merupakan bagian dari tanggung jawab negara untuk menangkal terjadinya kekerasan seksual di Indonesia.
Pasalnya, kasus kekerasan seksual selama ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Ia memaparkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) yang mencatat kekerasan seksual pada anak dan perempuan mencapai angka tertinggi pada 2020, yakni lebih dari 7 ribu kasus.
Sedangkan pada tahun yang sama total kasus kekerasan pada anak dan perempuan mencapai 11 ribu lebih kasus.
Maka dari itu, Rerie, sapaan akrab Lestari, menganggap kekerasan seksual telah menjadi persoalan serius yang nyata terjadi di masyarakat selama ini. Penyelesaian terhadap berbagai bentuk kekerasan seksual sejauh ini juga belum tuntas karena terjadi kekosongan hukum.
"Oleh karena itu, perlu ada aturan perundangan yang jelas agar kekerasan seksual dapat dihentikan, dan negara bertanggung jawab untuk menghapus kejahatan kekerasan seksual di negeri ini," tegas Rerie dalam keterangannya, Selasa (13/7/2021).
Selain itu, lanjutnya, berdasarkan pelaporan pada Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) tahun ini hingga 3 Juni 2021 terdapat 3.122 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dari data tersebut, angka kekerasan seksual masih mendominasi.
Menurut Legislator Partai NasDem ini, adanya Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang saat ini sedang dalam proses pengkajian di Baleg DPR merupakan bagian dari tanggung jawab negara untuk menangkal terjadinya kekerasan seksual di Indonesia.
"Kita harapkan proses pembahasan RUU itu berjalan lancar agar dapat segera disahkan menjadi UU dalam tahun ini," katanya.
Selain itu, ia juga mengatakan, MPR berkomitmen untuk terus mengawal proses pembahasan RUU tersebut agar segera dapat disahkan menjadi undang-undang.
"Tentu upaya ini perlu mendapatkan dukungan dari berbagai elemen masyarakat serta fraksi-fraksi di DPR," ucap Rerie.
Lobi-lobi di tingkat fraksi, menurut anggota Komisi X DPR RI ini, juga harus intens dilakukan untuk memberikan pemahaman yang utuh terkait pasal-pasal yang masih menimbulkan perbedaan pendapat.
"Perbedaan pendapat dan pandangan dalam pembahasan sebuah RUU itu hal biasa. Perbedaan itu diharapkan mengerucut pada titik temu, bukan untuk menggagalkan pembahasan beleid itu," imbuhnya.
Kemudian, Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu juga mengakui fraksi-fraksi di Senayan sudah memahami pentingnya kehadiran UU PKS. Diharapkan hal itu dapat diwujudkan dalam bentuk dukungan politik untuk menjadikan RUU tersebut undang-undang yang akan berlaku sebagai hukum positif di Indonesia.