JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Anggota Komisi Pendidikan DPR RI Bramantyo Suwondo menyarankan, adanya kajian mendalam terkait usulan sejumlah pihak agar pelaku pemerkosaan terhadap 12 santriwati yakni HW atau Herry Wirawan (36).
"Perlu dikaji lebih dalam karena kita menginginkan keadilan bagi korban dan juga hukum yang sifatnya preventif sehingga kejadian kekerasan seksual tidak terjadi lagi," tegas Bram kepada wartawan, Jumat, (10/12/2021).
Bram menegaskan, jika dalam permasalahan kekerasaan seksual ini lebih baik mencegah suatu musibah dibandingkan mengobati.
Karena, lanjut Bram, imbas dari pemerkosaan dan kekerasan seksual ini bersifat jangka panjang.
"Bagi korban dan juga berimbas kepada keluarga korban," tegas Politikus Demokrat ini.
Bram pun mengakui, jika Indonesia saat ini tengah berada dalam kondisi darurat
payung hukum untuk melindungi para korban kekerasan seksual.
"Indonesia juga butuh segera hukum yang bersifatnya preventif sehingga kekerasan seksual tidak terjadi lagi," ujar Bram.
Bram menegaskan, pemerintah harus berkerjasama erat dengan DPR, agar terciptanya Undang-Undang (UU) yang bisa melingkupi kekerasan seksual lebih besar lagi dan saat ini belum dicover oleh UU eksisting.
"Diharapkan kejadian kekerasan seksual di ruang pendidikan, kerja dan tempat lainnya dapat tidak terjadi lagi ditambah lagi tentunya ada perhatian lebih kepada korban-korban dalam hal bantuan konseling dan lainnya," pungkas Bram.
Pelaku pemerkosaan terhadap 12 santriwati yakni HW atau Herry Wirawan (36), seorang guru pesantren di Kawasan Cibiru, Kota Bandung, Jawa Barat, diancam tambahan hukuman kebiri.
Herry sendiri merupakan seorang guru secara keji memperkosa belasan santriwati. Karena itu kebiri dinilai pantas dilakukan sebagai bentuk hukuman terhadap Herry. Bahkan, usulan agar guru pesantren tersebut dapat diberikan hukuman kebiri terus berdatangan dari berbagai kalangan..
Hukuman kebiri sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat 7 Peraturan Pemerintah (Perpu) Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016.