JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Sejumlah kalangan tak terkecuali kalangan anggota DPR RI mempertanyakan klaim pemerintah yang menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2021 berada dikisaran 7.07%. Pasalnya, klaim pertumbuhan tersebut tidak selaras dengan kondisi riil di lapangan saat ini.
Anggota DPR RI dari FPDIP, Darmadi Durianto mengatakan, pengumuman pertumbuhan ekonomi tersebut bisa membuat publik bertanya-tanya. Karena fakta dan kondisi riil jauh berbeda dengan apa yang di klaim pemerintah dalam hal ini tim ekonomi Jokowi.
"Tidak sesuai dengan situasi yang dirasakan. Angkanya benar tapi bisa membuat masyarakat bertanya-tanya mengenai kebenaran angka tersebut karena masyarakat membandingkannya dengan situasi saat ini. Karena Q2 2020 itu kontraksi -5%. Ya pasti bertumbuh. Menurut saya ini capaian yang lumayan 7.07% year on year (yoy). Jika dibandingkan dengan Q 2020. Pasti naik banyak karena 2020 lagi kontraksi di Q2 yang pertumbuhan ekonominya mati -5.35%," tandas Anggota Komisi VI DPR RI itu kepada wartawan, Jumat (06/08/2021).
Darmadi mengingatkan agar sektor usaha khususnya mencermati secara jernih dibalik klaim pemerintah soal pertumbuhan ekonomi yang tumbuh 7%. Ini penting agar sektor usaha tidak terjebak pada fatamorgana pertumbuhan ekonomi di Q2 tahun 2020.
"Perusahaan harus hati-hati menyusun business plan. Jangan merasa pertumbuhan ekonomi 7% itu membuat pelaku usaha membuat asumsi yang ambisius," tegas Politikus PDIP itu.
Darmadi menyadari bahwa angka pertumbuhan ekonomi tersebut sebagai langkah Pemerintah membangkitkan optimisme publik.
Hanya saja, kata dia, jika niat tersebut tidak dibarengi pencerahan yang memadai justru akan blunder nantinya.
"Pemerintah harus memberikan data dengan penjelasan yang jelas supaya tidak menciptakan persepsi yang salah. Saya paham mungkin tujuan pemerintah ingin memberikan signal optimisme dan ada kehidupan di tengah kondisi pandemi saat ini. Tapi penjelasan kondisi ekonomi nyatanya lagi tidak baik karena pandemi Covid-19 menciptakan ketidakpastian dibidang ekonomi," ucapnya.
Yang jelas, kata dia, pertumbuhan tersebut bertolak belakang dengan nalar publik yang tengah mengalami kesulitan ekonomi saat ini.
"Publik membandingkan dengan pertumbuhan 7% dengan kondisi saat ini. Inilah yang membuat banyak masyarakat menduga Pemerintah melakukan pembohongan, meskipun angka 7% tersebut datanya akurat."
Sebab di satu sisi, kata dia, jika berkaca pada kondisi ekonomi sebelumnya maka klaim tersebut sulit diuji validitasnya.
"Juli, Agustus, September triwulan ke 3 pertumbuhan ekonomi kita memburuk. Tapi Diumumkan 7.07%. Jelas ini artinya masyarakat merasa dibohongin," tutupnya.