JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Masalah perunggasan belum menemukan titik terang, meskipun dalam dua tahun terakhir harga ayam potong dan telur cukup stabil di pasaran. Persoalan utama yang mendesak untuk diselesaikan adalah kelangkaan jagung dan integrator yang bermain di pasar rakyat atau pasar becek, sehingga berhadapan langsung dengan peternak rakyat.
“Komposisi jagung pada pakan ayam mencapai 50 persen. Saat ini menjadi masalah besar pada semester kedua 2021. Harganya terus melambung mencapai Rp6.500 per kg, jauh dari harga acuan Kementerian Perdagangan yang hanya Rp4.500 per kg,” ujar Anggota DPR RI dari Fraksi Golkar Singgih Januratmoko.
Menurutnya, hal tersebut karena kebijakan yang kurang tepat dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Pertanian (Kementan), dalam mengatur tata niaga jagung.
"Saat peternak menjerit karena harga jagung mahal dan stoknya menipis, impor sulit dilakukan oleh koperasi atau pabrik pakan rakyat,” kata Singgih Januratmoko.
Kuota impor ada di Kemendag, namun rekomendasi ada pada Kementan, Singgih mengingatkan masalah harga jagung bila berlarut-larut membahayakan peternak rakyat. "Ada 13 juta rakyat Indonesia yang hidupnya bergantung dari usaha peternakan rakyat,” ujarnya.
Singgih menyebut jagung di tingkat peternak mencapai Rp5.500-6.000 per kilogram. “Bila produksi jagung dalam negeri tak mencukupi terutama sebelum masa panen, Kemendag seharus mengizinkan impor terutama untuk peternak yang tergabung dalam koperasi atau harus ada cadangan jagung nasional oleh Bulog,” ujarnya.
Dengan demikian harga jagung stabil dan peternak terlindungi.
Di sisi lain, menurut Singgih terdapat dua integrator raksasa yang bermain di pasar becek atau pasar rakyat. Mereka menjual ayam hidup, yang sebenarnya bukan bidang utama mereka.
“Integrator usaha utamanya adalah pakan dan pembibitan ayam (breeding farm), bukan menjual ayam hidup,” ujarnya.
Singgih mengungkapkan, dengan kekuatan modal yang besar dan afiliasi yang mereka miliki, bila para integrator menggarap pasar becek, peternak rakyat yang modalnya kecil bisa mati.
“Inilah pentingnya segmentasi pasar. Integrator silakan bermain pada produk olahan ayam, jangan ayam hidup yang secara tradisional sudah menjadi usaha peternak rakyat,” ujarnya.
Menguatnya integrator disusul melemahnya peternakan rakyat akan berimbas pada munculnya praktik monopoli. “Daging ayam segar baik dari peternak yang berafiliasi dengan integrator maupun dari peternak mandiri, semuanya menuju pasar becek. Maka perlu diatur segmentasi pasarnya agar tidak terjadi perang harga,” imbuhnya.
Singgih meminta agar Kemendag dan Kemeko Perekonomian turun tangan. Usaha peternakan rakyat yang sifatnya UMKM butuh uluran tangan pemerintah. Dengan cara mendorong konglomerasi yang memiliki usaha peternakan ayam, hanya menjual ayam dalam bentuk daging atau olahan, bukan dijual dalam bentuk ayam hidup.
“Uji coba dapat dilakukan di Jawa-Bali,” ujarnya.
Persoalan Jagung
Sementara itu, di Kendal, Jawa Tengah, Ketua Ketua Koperasi Peternak Unggas Sejahtera, Sukardi, mengeluhkan harga jagung yang terus melambung. Ia bahkan pada 21 Agustus 2021, berkirim surat kepada Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, agar mengatur stok dan harga jagung di wilayahnya.
“Jagung di pasaran langka dan harganya mahal. Sebelum Mei sudah mencapai Rp5.900-6.000 per kilogram, ini merugikan peternak,” ujarnya.
Saat ada bantuan dari pemerintah pada Mei dan Juni, harga turun pada kisaran Rp5.200-5.300 per kilogram. Setelah bantuan stok jagung menipis, harga langsung merambat naik menjadi Rp5.800-5.900.
“Dan ini bisa dipastikan akan naik lagi, karena kebutuhan jagung di Kendal sangat tinggi,” ujar Sukardi.
Menurutnya, Kendal memang sentra jagung nomor empat di Jawa Tengah, namun sebagian besar petani sudah terikat kontrak dengan pabrik. Sebagian lagi, terlibat parktik ijon yang dilakukan oleh cukong-cukong.
“Kami peternak hanya mengandalkan suplai jagung dari empat kecamatan yang bertanam di lahan Perhutani,” ujarnya.
Ia berharap kemendag di bawah koordinasiKemenko Perekonomian turun tangan melindungi peternak kecil.
“Harga telur di tingkat peternak hancur akibat masalah stok jagung,” ujarnya.
Ia berharap pemerintah tegas menerapkan Permendag No. 7 Tahun 2021, yang menetapkan harga jagung Rp4.500 per kilogram bagi peternak.
“Dengan harga itu, peternak bisa ambil nafas untuk kembali memulai usaha. Tanpa campur tangan pemerintah, saya khawatir harganya melebihi Rp6.000 per kilogram,” pungkas Sukardi.
Sementara itu, Presiden Peternak Layer Nasional, Ki Musbar Mesdi, mengatakan persoalan jagung sangat strategis.
“Industri ayam broiler dan layer telah swasembada, jangan sampai hancur karena persoalan supply jagung,” ujarnya.
Terutama untuk peternakan ayam layer atau petelur, komposisi jagung sangat menentukan kualitas telur, mulai dari cangkang, kuning telur, hingga daya tahan penyimpanannya.
Senada dengan Sukardi, Musbar juga meminta pemerintah memberikan ruang bagi impor jagung untuk industri pakan ternak pada saat produksi nasional tak mencapai target.
“Produksi nasional jagung basah saat normal mencapai 30 juta ton, saat produksi menurun hanya 20 juta ton jagung basah,” imbuhnya.
Musbar mengatakan, bila setahun hanya ada 20 juta ton basah, itu setara dengan 8 juta ton jagung kering.
“Sementara yang dibutuhkan untuk pakan ayam adalah jagung kering. Kebutuhannya mencapai 12 juta ton per tahun, artinya butuh impor 2 juta ton lagi agar peternak ayam layer aman,” imbuhnya.
Jagung adalah nyawa peternakan ayam leyer, jadi menurutnya sangat strategis.
Ia meminta Kemendag dan Kementan, dan pemerintah memperbolehkan peternak yang terhimpun dalam koperasi atau pabrik pakan UMKM diizinkan mengimpor jagung, untuk menyelamatkan peternakan nasional.