JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Institute for Democracy & Strategic Affairs (Indostrategic) merilis survei yang dilakukan pada kuartal pertama 2021 terkait aspirasi regenerasi kepemimpinan di tubuh PBNU. Hasilnya, terkuak beberapa orang yang berpotensi memimpin PBNU.
Hasilnya, KH Marzuki Mustamar meraih 24,7% di antaranya memilih Ketua PWNU Jawa Timur sebagai calon kuat Ketum PBNU. Disusul oleh KH Hasan Mutawakkil Alallah dengan 22,2%, lalu KH Said Aqil Siradj dengan 14,8%.
Selanjutnya, ada nama KH Bahaudin Nursalim atau Gus Baha dengan 12,4%; KH Yahya Cholil Staquf dengan 3,7%; KH Marsyudi Syuhud dengan 1,2%; KH Ahmad Fahrur Rozi Burhan dengan 1,2%; KH Ali Maschan Moesa dengan 1,2%; dan tidak tahu atau tidak menjawab sebanyak 18,5%.
Namun demikian, survei ini memiliki sejumlah catatan. Dari hasil crosed-tabulasi asal responden, Direktur eksekutif Indostrategic Khoirul Umam, menyatakan bahwa angka-angka dukungan warga Nahdliyyin terhadap nama-nama tokoh tersebut banyak disampaikan oleh warga NU berbasis di Jawa Timur.
Sehingga, menempatkan dua nama Kiai Senior asal Jawa Timur di dua posisi awal, yakni KH Marzuki Mustamar dan KH Hasan Mutawakil Alallah.
Sementara, nama KH Said Aqil Siradj dinilai termasuk masih populer dan usulan nama dia merata dari berbagai wilayah. Namun di sisi lain, munculnya nama-nama baru itu dinilai sebagai bentuk aspirasi keinginan adanya regenerasi kepemimpinan di tubuh PBNU.
Seperti munculnya nama Gus Baha, Kiai muda asal Rembang, juga mengindikasikan menguatnya ekspektasi warga Nahdliyyin terhadap pemberian peran kepada para Kiai Muda yang berkomitmen serius terhadap upaya penguatan tradisi intelektual pesantren.
Selain itu, media exposure Gus Baha di berbagai chanel media sosial belakangan ini juga menambah literasi keilmuan sekaligus popularitas nama Gus Baha di kalangan warga Nahdliyyin secara general, khususnya Jawa Tengah, Jogjakarta dan Jawa Timur.
Khoirul Umam yang juga merupakan Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina, menilai, di bawah kepemimpinan Said Aqil Siraj, PBNU dinilai mampu menunjukkan karakternya yang berani dan bersikap tegas kepada kelompok-kelompok Islam radikal yang mencoba menggeser karakter keislaman nusantara yang berwatak moderat menjadi lebih konservatif.
Namun di sisi lain, kepemimpinan Said Aqil juga berimbas pada semakin lekatnya PBNU kepada kerja-kerja politik praktis.
"Terlebih lagi, ketika kekuasaan saat ini (the ruling power) dihadapkan pada tantangan ekspolitasi politik identitas," kata Umam, dalam keterangannya, Kamis (7/10).
Pada situasi tersebut, lanjut Umam, PBNU menjadi kekuatan yang sangat menarik untuk didekati oleh berbagai kepentingan politik, sebagai ‘bemper’ untuk melindungi kepentingan politik mereka dari serangan kelompok Islam konservatif.
Di sisi lain, kondisi itu juga coba digunakan sebagai kesempatan untuk memperkuat pengaruh PBNU di level politik praktis. Akibatnya, menurut Umam, peran PBNU sebagai Islamic-based civil society menjadi kurang optimal.
Misalnya, terkait wacana kebijakan publik amandemen UU KPK hingga penyelamatan 57 pegawai senior KPK, sikap dan keberpihakan PBNU dinilai kurang jelas.
"Sikap NU memiliki bobot politik yang sangat besar. Jika sikap PBNU kurang jelas, kondisi itu bisa dimanfaatkan oleh berbagai kelompok kepentingan predatorik, yang jauh-jauh hari terus mencoba melemahkan agenda anti-korupsi, sebagai amanah gerakan reformasi di Indonesia," kata Umam.
Akibat dinamika politik tersebut, lanjut Umam, pandangan warga Nahdliyyin relatif terbelah.
"Ada yang menilai langkah itu positif untuk meningkatkan daya tawar PBNU, tapi di sisi lain ada yang menilai hal itu sebagai langkah mundur PBNU yang kian tidak sesuai dengan prinsip Khittah NU 1926," kata Umam.
Survei tersebut dilakukan pada 23 Maret hingga 5 April 2021. Survei tersebut melibatkan 1.200 responden dengan margin of error 3 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Salah satu hasilnya, pemilih berdasarkan responden yang berasal dari segmen masyarakat yang memiliki kedekatan dengan NU,