JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Direktur Lembaga Riset Institute For Demographic and Poverty Studies, Yusuf Wibisono mengatakan, kehadiran megaproyek Ibu Kota Negara (IKN) akan merusak konsolidasi fiskal dan berpotensi besar membuat disiplin makroekonomi semakin runtuh.
Menurutnya, memindahkan ibukota terjadi di banyak negara, namun tidak ada yang dilakukan di saat krisis besar melanda negara.
“Berkeras mendorong pemindahan IKN dengan kebutuhan pembiayaan hingga Rp 466 triliun di saat APBN menanggung beban pandemi yang begitu berat, menjadi pertanyaan besar yang tak terjawab. Dengan tax ratio hanya 8,44 persen, membayar beban bunga utang saja APBN 2022 sudah tak mampu, dan kini harus digelayuti proyek mercusuar tanpa urgensi,” kata Yusuf dalam keterangan tertulisnya, Senin (14/02/2022).
Yusuf menambahkan bahwa awalnya, APBN hanya direncanakan menanggung 19,2 persen kebutuhan pembiayaan IKN. Namun angka tersebut kini membengkak menjadi 54,0 persen. Dengan minimnya kajian perencanaan proyek dan lemahnya daya tarik lokasi IKN, APBN berpotensi menanggung mayoritas atau bahkan seluruh kebutuhan pembiayaan IKN.
“Dalam skenario terburuk, terjadi kenaikan biaya dan seluruh pembiayaan ditanggung APBN, kami memproyeksikan megaproyek IKN ini berpotensi membebani APBN hingga Rp 53 triliun per tahun hingga 12 tahun ke depan. APBN 2022 adalah tahun terakhir relaksasi batas atas defisit anggaran,” ungkap Yusuf.
Yusuf menjelaskan, membangun kota baru dari kekosongan dan merelokasi populasi ke dalamnya untuk alasan keamanan, ekonomi, politik maupun spiritual, terjadi di sepanjang sejarah. Di era modern, berbagai proyek kota baru mengalami akselerasi dalam 3 dekade terakhir.
“Dubai yang awalnya perkampungan padang pasir, Shenzhen yang awalnya desa nelayan, hingga Seoul yang awalnya dataran sepi di tepi sungai, sering ditampilkan sebagai contoh mimpi indah para perencana kota,” ujar Yusuf mencontohkan.
Yusuf melihat bahwa IKN datang dengan mimpi serupa yaitu membangun kota dunia di tengah hutan Kalimantan. Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) yang dipilih menjadi lokasi IKN, berjarak lebih 2 ribu Km dari Jakarta, dapat disebut lahan “kosong”.
Dengan luas lebih dari 3 ribu Km2, kepadatan penduduk hanya 58 jiwa per Km2 dan luas lahan terbangun hanya 2,7 persen, Kab. PPU dipandang sebagai lokasi ideal untuk membangun kota idaman baru dari kekosongan.
“Namun, Menarik sumber daya global dalam jumlah masif ke kota baru adalah mustahil tanpa sejarah komersial kawasan yang panjang, visi keunggulan kota dan arah pengembangan kota yang fokus, kawasan industri dan perdagangan bebas, keberadaan hub transportasi yang besar, serta konsistensi kebijakan dalam jangka Panjang,” ucap Yusuf.
Kabupaten PPU sebagai lokasi IKN, menurutnya, nyaris tidak memiliki daya tarik untuk menarik masuk sumber daya global, kecuali bisnis pertambangan dan kehutanan.
“Dengan penduduk tidak sampai 200 ribu jiwa dan kontribusi terhadap PDB nasional hanya 0,06 persen, proyek IKN di Kab. PPU berpotensi besar sepenuhnya bergantung pada pembiayaan publik dan menjadi beban APBN dalam jangka Panjang,” papar Yusuf.
Yusuf mengungkapkan, Indonesia memiliki pengalaman membangun kota baru di atas tanah kosong, yang di desain sebagai pusat pertumbuhan baru yaitu Batam. Setelah 50 tahun berlalu, dengan populasi 1,2 juta jiwa, kontribusi Batam terhadap PDB nasional hanya 1,0 persen.
“Pengembangan secara masif sejak 1970-an, mulai dari pembangunan infrastruktur hingga pemberian berbagai insentif investasi, tidak mampu menjadikan Batam sebagai metropolitan, terlebih menyaingi Singapura, meski lokasi-nya sangat strategis tepat di jalur perdagangan internasional,” tutup Yusuf.