JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --SOKSI mengapresiasi dan mendukung pernyataaan 8 Fraksi DPR RI tanpa Fraksi PDIP pada 30 Mei lalu di Senayan Jakarta, dipimpin Kahar Muzakir Ketua Fraksi Partai Golkar bersama 7 Ketua Fraksi lainnya telah "mengingatkan MK (Mahkamah Konstitusi) agar jangan melanggar konstitusi dengan mengubah sistem pemilu proporsional terbuka karena itu wewenang pembuat UU , bukan wewenang MK selain juga resiko politiknya yang sangat besar.
Pernyataan sikap itu sangat tepat sebagai respons DPR meski minus Fraksi PDIP, terhadap dinamika proses uji materiil sistem proporsional terbuka UU Pemilu yang sudah berjalan lama dan terkesan tak fokus pada lingkup kewenangannya selaku MK tetapi seolah-olah MK bagai pembuat UU dan adanya informasi bahwa MK akan membuat putusan sistem proporsional tertutup analog dengan yang sudah dibuatnya terhadap uji materiil UU KPK baru-baru ini yang jelas itu melampaui kewenangan MK berdasarkan konstitusi.
Demikian juga halnya merubah sistem pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup bukan kewenangan MK tetapi adalah kewenangan pembuat UU yaitu DPR bersama Presiden, kata Ali Wongso Ketua Umum SOKSI kepada wartawan pada Jumat sore (02/05/23) di Jakarta seusai memberikan pembekalan pada pendidikan Politik Kader Bangsa Tingkat Pratama SOKSI Jakarta Utara.
Menurut politisi senior Partai Golkar itu, sikap 8 Fraksi DPR yang meperingatkan dengan tegas MK itu amat tepat karena itu menyalurkan aspirasi hampir semua Parpol peserta Pemilu kecuali PDIP dan PBB serta 90% lebih rakyat yang aspirasinya menolak keras jika kedaulatannya dicabut menjadi kedaulatan Parpol dengan alasan yang kurang rasional dan sekaligus merupakan pengawasan DPR untuk mencegah MK melanggar Pasal 20 UUD 1945 dan Pasal 57 UU MK guna menjamin tegaknya Konstitusi dan hukum dalam kehidupan berbangsa bernegara.
"Kedudukan MK sebaga salahsatu cabang kekuasaan kehakiman tidak berwewenang membuat UU. Sistem Pemilu itu mengikat seluruh rakyat pemegang kedaulatan sehingga harus masuk dalam UU Pemilu yang dibuat melalui open legal policy sesuai UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan," papar Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar itu.
Dalam empat Pemilu terakhir yaitu tahun 2004, 2009,2014, dan 2019, sistem proporsional terbuka telah menempatkan rakyat secara bertahap sebagai subyek yang berhak memilih langsung siapa nama-nama yang dipercayainya untuk mewakilinya di DPR, DPRD dalam sistem proporsional terbuka dalam UU Pemilu.
Sistem proporsional terbuka kita harapkan kedepan akan makin maju dalam mewujudkan demokrasi substansial yang akan membawa kemajuan bangsa. Untuk itu yang diperlukan adalah pendidikan politik rakyat dan pendidikan kader serta penegakan hukum pemilu seiring akselerasi transformasi ekonomi nasional yang berkeadilan, sehingga ekses-ekses berupa "politik uang" dan ekses lainnya akan makin minim.
Karena itu sistem proporsional terbuka perlu dipertahankan dalam rangka demokratisasi, bukan diganti dengan sistem ptoporsional tertutup apalagi menggantinya pada masa yang salah karena mendekat Pemilu 2024 dan dengan cara yang keliru melalui tangan MK yang tak punya kewenangan untuk itu, sehingga jelas melanggar konstitusi atau inkonstitusional.
Menjawab pertanyaan, apa yang akan terjadi jika nanti Putusan MK tidak sejalan dengan sikap 8 ftaksi DPR itu, dimana MK mengganti Sistem proporsional terbuka menjadi tertutup, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional SOKSI itu berharap MK tidak akan nekat melakukan itu, kami masih berharap MK tidak tuli dan tidak buta terhadap banyaknya elemen masyarakat bangsa ini termasuk SOKSI yang mengingatkan proporsi kewenangannya sebagai negative legislator dan kelayakan persyaratannya sebagai hakim konstitusi sesuai Pasal 24C ayat (5) UUD 1945.
Namun jikalau MK tetap nekat, meskipun sudah banyak diingatkan, maka MK telah melakukan tiga hal yang kita sesalkan.
Pertama, jika putusan MK inkonstitusional, ten tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, lalu apakah rakyat, DPR, dan Pemerintah harus mentaati putusan inkonstitusional atau sebaliknya mengabaikannya karena negara ini adalah negara hukum dan konstitusi sehingga Pemilu 2024 tetap berjalan sesuai UU No.7 Tahun 2017 dan Konstitusi?
Kedua, Apakah para Hakim Konstitusi yang mendukung Putusan MK yang inkonstitusional meski sudah diperingatkan, akan dibiarkan atau diambil tindakan lebih lanjut oleh lembaga berwenang dan kredibel?
Ketiga, Perlu merubah UU Tentang MK sehingga lebih jelas kewenangannya termasuk mengembalikan Pasal 57 ayat (2a) UU MK yang dihapus pada perubahan UU MK tahun 2020.
"Namun semoga Putusan MK yang merubah sisitem pemilu proporsional terbuka itu tak pernah terjadi," tutup kader SOKSI binaan Pak Suhardiman Pendiri SOKSI dan Golkar itu.