Berita
Oleh Sahlan Ake pada hari Selasa, 13 Jun 2023 - 16:30:32 WIB
Bagikan Berita ini :

Jelang Putusan UU Pemilu, Ketua Umum SOKSI Ingatkan MK Agar Jangan Jebak Presiden dan DPR Melanggar Konstitusi

tscom_news_photo_1686648632.jpg
Ali Wongso Sinaga Ketua Umum SOKSI (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Menjelang pengucapan putusan MK (Mahkamah Konstitusi) dalam sidang MK yang sudah dijadwalkan pada hari kamis 15 Juni 2023 mendatang, tentang uji materiil Pasal 168 dan pasal terkait lainnya dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, apakah sistem proporsional terbuka pemilu DPR, DPRD bertentangan atau tidak dengan UUD 1945, mendapat perhatian besar elit politik dan masyarakat luas, bahkan tidak sedikit yang cemas karena terkait erat dengan dinamika dan suhu politik nasional yang cenderung memanas akhir-akhir ini menjelang Pemilu 2024 mendatang.

Dalam kaitan Putusan MK itu, Ketua Umum SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia) Ir. Ali Wongso Sinaga turut angkat bicara dengan tegas dan lugas “mengingatkan MK agar Putusan MK jangan berpotensi menjebak Presiden dan DPR melanggar Konstitusi”.

Sebab Putusan MK itu disatu sisi bersifat final dan mengikat sesuai Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, tetapi disisi lain apabila Putusan MK itu dibuat dengan melampaui Pasal 57 UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang MK berikut Perubahannya dan melanggar Konstitusi itu sendiri dimana jika MK mengambil alih kewenangan pembuat UU, maka melanggar sebagaimana diamanatkan Pasal 20 UUD 1945, dimana pelanggaran itu juga membuktikan sekaligus pelanggaran Pasal 24C ayat (5) UUD 1945 yang mengamanatkan “Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, adil, negarawan, yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan”, maka Putusan MK yang melanggar konstitusi dan UU demikian itu adalah inkonstitusional dan oleh karena secara parsial dianggap final sifatnya, maka Putusan MK inkonstitusional itu berpotensi menjebak Presiden dan DPR untuk menjadi turut serta melanggar konstitusi mengikuti Putusan MK yang inkonstitusional itu.

"Apabila pada 16 Juni 2023 nanti sampai terjadi Putusan MK melanggar konstitusi atau inkonstitusional, entah karena apapun, maka dinamika dan suhu politik akan cenderung memanas dengan potensi krisis konstitusional dan diperkirakan akan sulit menghindari kegaduhan politik nasional akibat akan mengerasnya tarik menarik kepentingan politik yang tentu bukan saja akan potensial mengacaukan proses tahapan Pemilu 2024 tetapi juga berpotensi bahaya terhadap kehidupan masyarakat bangsa dan negara yang sesungguhnya semuanya itu tak perlu terjadi, dan oleh segenap elemen bangsa ini harus kita tekadkan bersama untuk menghindarinya," kata Politisi senior Partai Golkar binaan Pak Suhardiman Pendiri SOKSI dan Golkar itu kepada Wartawan di Jakarta pada Selasa (13/06/2023).

Untuk menghindari semua hal buruk yang tak perlu terjadi itu, maka sembilan orang Hakim Konstitusi di MK harus mampu membuat Putusan MK yang tegak lurus pada konstitusi dan hukum sehingga tidak berpotensi menjebak Presiden dan DPR.

Bagaimana supaya Putusan MK itu tegak lurus pada konstitusi dan hukum, mantan Anggota Pansus DPR RI untuk RUU Mahkamah Konstitusi Tahun 2011 itu menaruh harapan sekaligus pandangan dan saran kepada sembilan orang Hakim Konstitusi yang mulia di MK, dengan tiga hal berikut:

Pertama, hendaknya memperhatikan sungguh-sungguh masukan dan peringatan kepada MK yang sudah sangat banyak diberikan oleh berbagai pihak baik langsung maupun tak langsung melalui media yang pada hakekatnya meminta agar supaya MK menyadari dan komit dengan keberadaannya dan tugasnya sebagai penjaga konstitusi yang kuat dan efektif sebagaimana diamanatkan dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman,Pasal 24C Ayat (1) hingga ayat (6) UUD 1945 beserta UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang MK berikut Perubahannya secara konsisten.

Tegasnya Kedudukan MK adalah salahsatu cabang kekuasaan kehakiman yang berwewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
Tetapi konsekuensi logis sifat final putusan MK itu hanya berlaku dan berkekuatan hukum sudah tentu apabila Putusan MK itu tidak melanggar konstitusi dan hukum.

Dalam hal ini, putusan MK itu final sifatnya jika MK konsisten dan disiplin sebagai “negative legislator” yang sama sekali tidak boleh membuat norma UU yang merupakan wewenang pembuat UU (positive legislator).
Integritas, kepribadian,kenegarawanan dan penguasaan konstitusi dan ketatanegaraan para hakim konstitusi sesuai Pasal 24C Ayat (5) UUD 1945 harus mampu menjaga komitmen dan konsistensi masing-masing hakim konstitusi untuk tetap teguh berada dalam koridor “negative legislator” itu.

Bahwa Sistem Pemilu adalah mengikat seluruh rakyat pemegang kedaulatan negara sehingga sistem pemilu harus didalam UU Tentang Pemilu yang dibuat oleh pembuat UU (positive legislator) melalui open legal policy sesuai UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam Pasal 57 UU Nomor UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang MK berikut Perubahannya, sudah juga diatur jelas apa bagaimana kewenangan dan batasan amar putusan MK terkait uji materiil UU yaitu yaitu menerima atau menolak permohonan saja. Jelas Putusan MK tanpa ada norma baru UU ataupun amar tambahan yang melanggar UUD 1945 karena mengambil alih yang bukan kewenangannya adalah terlarang.

Adapun Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 pada Pasal 73 Ayat (3) yang mengatur penambahan amar putusan MK, adalah tidak berdasar dan tidak berkekuatan hukum untuk melampaui UU MK dan UUD 1945, dimana Pasal 73 Ayat (3) tersebut saat ini juga sedang berproses dalam perkara uji materiil di Mahkamah Agung RI dengan Nomor Registrasi Perkara : 18/P/HUM/2023 Tanggal 9 Mei 2023.

Kedua, hendaknya dalam memutuskan uji materiil sistem proporsional terbuka pemilu DPR, DPRD terhadap UUD 1945 para hakim konstitusi komit mengidentifikasi diri sesuai Pasal 24C Ayat (5) UUD 1945 , sehingga proses dan putusan uji materiil UU itu sungguh-sungguh rasional dengan seksama dan menyeluruh terhadap UUD 1945, khususnya terhadap Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 "Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, setiap lima tahun sekali dimana rakyat pemegang kedaulatan itu (pasal 1 ayat 2 UUD 1945) oleh Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, diamanatkan untuk memilih Anggota DPR, DPRD yang nama-namanya bersumber dari pengajuan oleh Parpol Peserta Pemilu sesuai Pasal 22E ayat (3), dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, “negara Indonesia sebagai negara hukum” dimana Pasal 29 UU Parpol UU Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Parpol, mengatur tugas Parpol antara lain merekrut dan mengajukan calon anggota DPR, DPRD.

Sangat jelas UUD 1945 mengamanatkan rakyat selaku pemegang kedaulatan negara bukan memilih Parpol tetapi memilih siapa nama anggota DPR,DPRD yang dikehendakinya menjadi wakilnya sebagai wakil rakyat di DPR,DPRD dari antara nama-nama yang diajukan oleh para Parpol Peserta Pemilu DPR,DPRD secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, setiap lima tahun sekali, karena UUD 1945 mengamanatkan tegas memilih anggota DPR, DPRD secara langsung.

Ketiga, berdasarkan Pasal 60 UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang MK berikut Perubahannya mengatur jelas bahwa MK tidak dapat menguji kembali apa yang sudah pernah diujinya dan diputuskannya yang sudah tentu putusannya sesuai dengan konstitusi.

Bahwa sistem proporsional terbuka pemilu DPR,DPRD yang ada dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 yang sedang diuji materiil oleh MK Tahun 2023 ini pada hakekatnya adalah sama dengan isi Putusan MK Tahun 2008 Nomor 22-24/PUU-VI/2008 atas uji materil UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dengan amar putusan apa yang selanjutnya dalam perubahan UU berikutnya memakai nomenklatur sistem proporsional terbuka dalam Pemilu DPR, DPRD sebagaimana sudah dilaksanakan dalam Pemilu 2014 dan 2019 selain sebelumnya pada Pemilu 2009.

Karena itu, MK yang tegak lurus pada UUD 1945 dan UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang MK berikut Perubahannya, adalah tidak bisa menyatakan atau memutuskan bahwa sistem proporsional terbuka pemilu DPR,DPRD yang ada dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 adalah bertentangan dengan UUD 1945.

"Dari ketiga hal itu, tanpa bermaksud mencampuri atau mempengaruhi para hakim konstitusi yang mulia, dapat dengan mudah dipahami bahwa tegasnya sistem pemilu proporsional terbuka tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga putusan MK semestinyalah menolak permohonan uji materiil itu dan siapapun apabila berkehendak mengubah sistem proporsional terbuka pemilu DPR,DPRD dengan sistem apapun untuk Pemilu 2029 kelak, apakah menghendaki sistem proporsional tertutup, sistem hybrid, sistem distrik, dan lain sebagainya, sudah tentu terbuka secara demokratis, konstitusional dan hukum melalui proses open legal policy dengan aspirasi rakyat kepada DPR RI Periode 2024-2029 mendatang membuat perubahan UU Pemilu," jelas Ali Wongso, Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar itu.

tag: #soksi  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement