JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --DPR RI menyoroti perizinan pengoperasian Pabrik Kelapa Sawit (PKS) PT Pulo Padang Sawit Permai (PPSP) yang diduga merugikan masyarakat sekitar. Hal ini menyusul adanya sejumlah aktivis yang ditangkap saat melakukan demo penolakan terhadap PKS tersebut.
Komisi IV DPR meminta Pemerintah untuk memastikan semua perizinan PKS sudah sesuai mekanisme, khususnya terkait izin AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. DPR juga menekankan soal keadilan untuk masyarakat.
"Kami minta Pemerintah untuk melihat dan memastikan apakah semua persyaratan PKS ini sudah dipenuhi, terutam dalam hal AMDAL. Kita juga harus melihat asas keadilan bagi masyarakat, jangan sampai pengoperasian pabrik merugikan masyarakat," ujar Anggota Komisi IV DPR, Daniel Johan, Senin (9/9/2024).
Permasalahan bermula dari pendirian pabrik sawit yang dianggap mengganggu masyarakat di Kelurahan Pulo Padang, Kecamatan Rantau Utara, Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara. Masyarakat mengaku awalnya tidak mengetahui bahwa lahan tersebut akan dibangun pabrik, karena informasinya pembangunan untuk perumahan rakyat.
Pabrik tersebut berada di tengah permukiman warga, tepatnya di samping bangunan sekolah sehingga kerap mengganggu aktivitas dan kenyamanan masyarakat. Dari hasil penelitian juga diketahui, dampak PKS itu menimbulkan limbah kelapa sawit hingga tercemarnya air sumur warga dan aliran sungai.
Belum lagi PKS menyebabkan polusi udara akibat asap pabrik, kebisingan, serta mengganggu kenyamanan dan keamanan murid sekolah sehingga mendapat penolakan warga dan elemen masyarakat. Daniel mengatakan, secara kasat mata pabrik sawit itu memang menimbulkan keresahan.
“Maka penting sekali evaluasi menyeluruh dari operasional pabrik sawit tersebut. Pemerintah dan penegak hukum harus netral, kalau pengoperasian pabrik merusak lingkungan, mengancam kelestarian alam, dan berdampak buruk pada masyarakat setempat, seharusnya ditindak. Bukan justru masyarakat yang berdemo ditangkap,” tegasnya.
Pada Senin, 20 Mei 2024, sejumlah warga bersama elemen masyarakat melakukan aksi demo menolak pengoperasian PKS PT PPSP. Aparat penegak hukum pun menangkap seorang aktivis perempuan bernama Tina Rambe beserta tiga mahasiswa dan dua anggota masyarakat lainnya.
Tina terkenal keras menyuarakan penolakan PKS milik PT Pulo Padang Sawit Permai (PPSP) di lingkungannya. Ia bersikeras kehadiran pabrik kelapa sawit itu menimbulkan polusi udara, apalagi bersebelahan dengan sekolah TK, SD, SMP, SMA.
Dari tiga orang yang ditangkap, dua diantaranya sudah mendapatkan penangguhan penahanan. Hanya tinggal Tina Rambe yang masih ditahan, dan kini tengah mengajukan sidang praperadilan tapi belum juga ada putusan dari pengadilan.
Melihat hal tersebut, Daniel meminta penegak hukum untuk melakukan pemeriksaan dengan seadil-adilnya. Harus ada alasan yang jelas kenapa penahanan Tina tidak ditangguhkan, dan kenapa praperadilannya juga belum diputuskan. Tina ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan perlawanan terhadap aparat saat menuntuk hak warga terkait penolakan terhadap operasional PKS.
"Masyarakat memiliki hak untuk menyampaikan pendapat mereka mengenai dampak lingkungan dan sosial dari proyek-proyek besar," ungkap Daniel.
"Kami berharap kasus Tina Rambe juga akan segera selesai seperti dua orang yang lainnya. Harus diperjelas mengapa Tina Rambe belum juga mendapatkan penangguhan penanganan,” lanjut Legislator dari Dapil Kalimantan Barat I itu.
Penolakan terhadap PKS di Labuhanbatu ini sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 2017. Namun kasus ini mencuat setelah viral di media sosial video Tina Rambe saat berbincang dan memeluk anaknya yang masih kecil dari balik jeruji tahanan. Publik bersimpati kepada Tina, terutama karena ia duduk di kursi pesakitan pengadilan hanya lantaran menuntut hak masyarakat setempat.
Tak hanya itu, viral juga video lain Tina yang tidak diperbolehkan memeluk sang anak oleh petugas ketika menjalani persidangan di pengadilan. Dalam video tersebut terlihat aparat sengaja menjauhkan Tina dari sang anak. Kondisi itu membuat respons simpati dari warganet dan masyarakat pasalnya anak Tina masih berumur di bawah lima tahun.
“Ini soal kemanusiaan ya. Seharusnya penegak hukum lebih humanis. Mestinya kan ada kebijakan khusus karena ini menyangkut psikologis anak juga. Apalagi kasusnya juga masih abu-abu seperti ini,” ucap Daniel.
Sebagai informasi, permasalahan ini terjadi sudah sejak tahun 2017 di mana masyarakat terus menuntut keadilan untuk merelokasi pabrik sawit yang dianggap mengganggu masyarakat dan mencemari lingkungan mereka. Sejak 2017, aksi penolakan kerap terjadi namun dari pihak PT PPSP menilai penolakan terjadi hanya dari segelintir orang sehingga suaranya kurang didengar.
Masyarakat sering melakukan aksi hingga melakukan boikot dengan menahan kendaraan yang membawa bahan sawit agar pabrik tidak beroperasi. Namun aksi tersebut hanya berhasil sementara waktu dan terus berulang tanpa titik temu.
Keterangan dari pihak PT PSSP, mereka siap memasang peredam suara di sekolah yang terimbas dari kebisingan parbik. Hanya saja masyarakat tetap tidak terima dan mereka hanya menuntut relokasi pabrik. Daniel mengatakan masalah seperti ini sering terjadi.
“Masalah sosial pabrik sawit dengan masyarakat sebenarnya banyak dan sering terjadi di berbagai daerah. Persoalan hukumnya juga banyak, dan tak sedikit juga terjadi dugaan kriminalisasi,” sebutnya.
“Maka harus dipastikan penegakan hukum dilakukan secara transparan. Jangan sampai ada yang ditutupi atau masyarakat mendapatkan perlakuan tidak adil. Tidak boleh ada masyarakat yang mendapat kriminalisasi hanya karena melawan korporat besar. Penegak hukum harus netral,” imbuh Daniel.
Komisi IV DPR yang membidangi urusan perkebunan dan lingkungan hidup juga menekankan, penegak hukum seharusnya memperhatikan dari sisi aturan terhadap operasional pabrik sawit. Sebab, kata Daniel, masyarakat pasti punya alasan melakukan penolakan.
“Apakah proses perizinan perusahaan sudah memenuhi standar lingkungan yang berlaku? Jangan sampai berat sebelah dan ada perlakuan berbeda sehingga menimbulkan kecurigaan publik. Pastikan tidak ada kriminalisasi terhadap rakyat,” tegasnya.
Daniel menyebut, penangkapan terhadap Tina memunculkan pertanyaan serius tentang bagaimana hak-hak masyarakat dalam menyampaikan pendapat. Ia juga menyoroti tentang jaminan hak asasi manusia (HAM), termasuk dalam menyampaikan pendapat yang diatur dalam konstitusi.
"Saat penangkapan juga harus dilihat benar atau tidak prosedur penangkapannya. Penegakan hukum harus menghormati hak asasi manusia, termasuk hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi lingkungan dan kehidupan mereka," papar Daniel.
Dalam kasus ini, aparat penegak hukum dinilai semestinya dapat melakukan Restorative justice yang tidak hanya berfokus pada penjatuhan pidana, tetapi juga memperhatikan kebutuhan korban dan pelaku kejahatan. Restorative justice atau keadilan restoratif adalah pendekatan penyelesaian perkara pidana yang melibatkan dialog dan mediasi antara korban, pelaku, dan masyarakat.
Daniel berpendapat, penanganan kasus yang berkaitan dengan masyarakat lebih tepat menggunakan metode restorative justice karena berfokus pada dialog. Ia juga mengingatkan agar kasus Tina dapat dilihat secara komperhensif dengan mempertimbangkan hak-hak masyarakat dan kepatuhan terhadap regulasi lingkungan.
"Masalah seperti ini bisa dilakukan dengan dialog dan mediasi oleh pihak yang terkait. Restorative justice kan dilakukan untuk menciptakan kesepakatan yang adil dan seimbang bagi semua pihak," terangnya.
"Ini merupakan langkah-langkah krusial yang harus diambil untuk memastikan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Demi kenyamanan semua belah pihak," tutup Daniel.