JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sejumlah aspek layanan pendidikan Indonesia masih mengalami berbagai persoalan sehingga DPR menilai ini akan menjadi tantangan berat untuk Mendikbud yang akan datang. Banyaknya persoalan di sektor pendidikan membuat kualitas pendidikan di Indonesia masih mengalami ketimpangan.
“Kita tahu ada banyak sekali pekerjaan rumah di sektor pendidikan, banyak permasalahan yang masih belum terselesaikan. Wajar kalau banyak pihak menilai presiden terpilih perlu sangat selektif memilih Mendikbud di Kabinetnya,” kata Anggota DPR RI Andreas Hugo Pareira, Selasa (8/10/2024).
Andreas yang dalam periode DPR sebelumnya bertugas di Komisi X dengan lingkup kerja pada sektor pendidikan itu merinci sejumlah hal yang masih menjadi permasalahan.
“Banyak sekali permasalahan di daerah yang tidak teratasi terutama menyangkut guru dan sarana prasarana menyebabkan masih rendah kualitas layanan pendidikan. Sementara tahun lalu anggaran pendidikan tidak terserap maksimal. Belum lagi kurikulum yang masih dalam periode transisi dan terhambat akibat dua tahun masa pandemi,” tuturnya.
Andreas juga menyinggung proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang setiap tahunnya menimbulkan persoalan, sampai masalah kekurangan guru yang masih belum juga terselesaikan. Padahal, ketimpangan kualitas pendidikan salah satunya disebabkan oleh kualitas tenaga pengajar.
“Kita tahu urusan tenaga pengajar yang masih kurang bagi dunia pendidikan kita sampai sekarang belum juga ditemukan formulasi yang tepat untuk mengatasinya sehingga berdampak terhadap ketimpangan kualitas pendidikan di Tanah Air,” ungkap Andreas.
Andreas pun menyebut persoalan kekurangan guru di sektor pendidikan formal semakin diperparah dengan minimnya guru-guru berkualitas.
"Masalah rendahnya kualitas pendidikan nasional salah satu sebabnya adalah ketimpangan sertifikasi guru dan rendahnya hasil uji kompetensi guru menunjukkan bahwa Pemerintah perlu segera mengambil langkah-langkah strategis untuk meningkatkan mutu pendidikan," paparnya.
Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengungkap ada 1,6 juta guru yang belum tersertifikasi, sehingga dinilai masih terdapat ketimpangan dalam kualitas guru. Sedangkan untuk ekosistem pendidikan nasional mencakup 60 juta murid, terdapat lebih dari 4 juta pendidik yang tersebar di 400 ribu sekolah.
Melihat data tersebut, Andreas meminta Pemerintah untuk mempercepat proses sertifikasi kepada 1,6 juta guru tersebut. Para guru dapat mengikuti program pelatihan secara intensif terlebih dahulu sebelum mendapatkan sertifikasi.
"Sertifikasi tidak hanya dilihat sebagai formalitas, tetapi harus disertai pengukuran kompetensi yang lebih ketat, memastikan guru memiliki keterampilan yang diperlukan," terang Andreas.
Legislator dari dapil NTT I itu menambahkan, sertifikasi guru merupakan salah satu langkah untuk mengatasi ketimpangan kualitas pendidikan nasional. Tujuan program sertifikasi guru, kata Andreas, untuk meningkatkan kualitas pengajaran dan memastikan bahwa guru telah memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan oleh Pemerintah.
"Jika pengajarnya memiliki kualitas yang baik, maka akan memberikan performa mengajar yang baik pula untuk anak-anak kita sebagai generasi penerus bangsa," sebutnya.
Hingga saat ini, persentase guru yang tersertifikasi terbanyak ada di jenjang pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) sebesar 48,44 persen, berikutnya di jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) sebesar 45,77 persen. Sementara persentase terkecil di jenjang sekolah menengah kejuruan (SMK) yang hanya 28,49 persen.
Dengan demikian, menurut Andreas, perlu adanya pelatihan berkelanjutan bagi para guru. Hal ini mengingat hasil kompetensi yang menunjukkan 60% guru membutuhkan peningkatan keterampilan.
Pemerintah disebut bisa memperkuat Continuous Professional Development (CPD), melalui modul-modul pelatihan yang relevan dengan perubahan kurikulum dan teknologi pendidikan modern.
"Pemanfaatan teknologi, seperti pembelajaran daring, bisa menjadi solusi untuk menjangkau guru di daerah terpencil. Namun sebelumnya Pemerintah harus memastikan bahwa akses internet sudah terpenuhi di seluruh wilayah-wilayah pelosok," jelas Andreas.
Selain kualitas pengajar yang masih rendah, ada beberapa faktor Indonesia masih mengalami ketimpangan kualitas pendidikan antara lain akses ke sekolah yang sulit akibat keterbatasan transportasi dan komunikasi di berbagai daerah, kurangnya fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang memadai.
Kemudian juga masalah biaya pendidikan, perbedaan status sosial, agama, dan ekonomi, serta perbedaan perspektif tentang pendidikan hingga diskriminasi gender.
Andreas mendorong agar ada evaluasi dalam sistem pendidikan di Indonesia, dan berharap pemerintahan yang akan datang dapat memperbaiki berbagai permasalahan pada sektor pendidikan.
"Harus ada evaluasi secara menyeluruh, dan permasalahan kualitas layanan pendidiman perlu diselesaikan dari hulu ke hilir," tegasnya.
Lebih lanjut, Andreas menilai kerja sama dengan universitas, lembaga pendidikan tinggi, dan organisasi profesional juga bisa dilakukan untuk merancang program pelatihan dan evaluasi yang lebih komprehensif. Pemerintah harus memastikan anggaran yang cukup dialokasikan untuk infrastruktur pendidikan, terutama di wilayah-wilayah yang tertinggal.
"Dengan memperkuat kualitas guru dapat berdampak langsung pada mutu pembelajaran yang diterima siswa, sehingga menciptakan ekosistem pendidikan yang lebih inklusif dan berkualitas," tutup Andreas.