Opini
Oleh Ahmadie Thaha (Pengaruh Pesantren Tadabbur al-Qur'an) pada hari Rabu, 06 Nov 2024 - 16:53:34 WIB
Bagikan Berita ini :

Mentalitas Kasino

tscom_news_photo_1730886814.jpg
(Sumber foto : Istimewa)

Dalam dunia yang penuh dengan mimpi-mimpi besar, mungkin ada di antara kita yang membayangkan Indonesia sebagai Tanah Air yang tenteram, adil, dan sejahtera. Tapi tunggu dulu. Ternyata, harapan itu sudah lama terbuang di sudut, tergantikan oleh kenyataan baru yang tak kalah "megah": dunia judi online!

Dari buruh hingga pengojek, dari siswa sekolah hingga pejabat tinggi, semua terbuai oleh sensasi “klik-dan-menang.” Tahun 2023 saja, angka Rp 327 triliun mengalir deras di dunia judi online, membuat peluang jadi kaya seolah terasa begitu dekat hanya dengan beberapa sentuhan jari.

Tapi sayangnya, mentalitas ini bukan sekadar mengoyak layar HP masyarakat, melainkan juga menembus hingga ruang-ruang Gedung Senayan dan gedung-gedung pemerintahan. Bahkan dengan perlindungan para pejabat yang, tanpa malu, justru mendukungnya.

Wajah politik kita sama saja. Ajang demokrasi sungguh mirip sebuah kasino terbuka, di mana para calon pemimpin dan pejabat tinggi berlomba dalam permainan uang dan janji-janji kosong. Dibanding kondisi ini, bahkan judol yang paling brutal pun tak ada apa-apanya.

Kita bicara "money politics" seolah-olah itu rumus baru dalam demokrasi, padahal ia sudah lama menjadi semacam mantera sakral di negeri ini. Ingin jadi anggota legislatif? Siapkan Rp 20 hingga 80 miliar. Ingin maju sebagai bupati/walikota, gubernur, atau bahkan presiden?

Makin besar taruhannya, makin besar peluang menang. Itu sudah jadi rumus baku dalam demokrasi kita saat ini. Para politisi bukan hanya menggelontorkan dana kampanye, tapi juga biaya tim sukses, survei pencitraan, bahkan sembako untuk menggaet suara.

Dan seperti di meja judi, mereka yang kalah pulang dengan tangan kosong. Sementara yang menang —masuk parlemen— memulai babak baru perjuangan, tepatnya permainan, untuk mengembalikan “modal” yang sudah terkuras.

Bayangkan, ada anggota legislatif berpengalaman yang begitu beraninya hingga mengusulkan agar masa jabatan parlemen diperpanjang jadi sepuluh tahun, demi mengembalikan “investasi” mereka. Ibarat permainan poker yang tak ada ujungnya, siapa yang berani bertaruh lebih besar, dialah yang menguasai meja.

Seperti di kasino, hasil akhir di politik pun tak pernah pasti. Dalam dunia penuh pragmatisme ini, idealisme dibuang ke tong sampah, etika hanya sekadar hiasan di rak buku. Silahkan catat janji-janji mereka, anda hanya akan sampai ke titik frustasi yang menyebalkan.

Jangan heran kalau kita terus menemukan pemimpin yang penuh kontroversi, pejabat yudikatif yang bermain-main dengan hukum, serta anggota legislatif yang sibuk menghitung untung-rugi pribadi ketimbang memikirkan nasib rakyat.

Politik kasino ini adalah cermin dari kerusakan moral yang akut. Para pejabat hidup dalam ilusi, mengandalkan “kartu keberuntungan” mereka, dan terus berjudi dengan masa depan bangsa. Sungguh nestapa nasib bangsa yang demikian.

Yang kita lihat akhirnya adalah satu generasi pemimpin yang mabuk kepentingan pribadi, satu bangsa yang dikendalikan oleh mereka yang lebih lihai memainkan judi politik daripada sungguh-sungguh bekerja untuk kesejahteraan masyarakat.

Kerusakan moral ini tak berhenti di situ. Negara kita berubah menjadi arena spekulasi, di mana kebijakan dibuat hanya kalau ada imbal balik bagi sang pejabat di berbagai tingkatan, yang bekerja seolah multi level marketing tak tertulis.

Eksekutif, yudikatif, legislatif —semua ini terdengar seperti lelucon. Rakyat yang berharap pemimpin bijak, justru mendapat "pemain poker" yang lebih lihai menyembunyikan harta di bawah meja.

Money politics kini sudah lebih dari sekadar strategi, ia adalah racun yang merusak mental dan moralitas bangsa. Ironisnya, kita terus terjebak dalam siklus ini.

Ketika harga sembako tiba-tiba turun menjelang pemilu, kita bertepuk tangan tanpa menyadari bahwa itu bukan bukti kepedulian, melainkan umpan politik yang menjerat kita lebih dalam.

Mentalitas kasino ini membius kita hingga lupa bahwa judi politik ini adalah racun bagi bangsa.

Reformasi sudah tak lagi cukup menjadi kata klise. Kita butuh perombakan sistem politik yang tak memberi ruang bagi mereka yang hanya pandai berjudi, namun tak sanggup mempertaruhkan kepentingan rakyat di atas ambisi pribadi.

Tanpa itu, negeri ini akan terus hanyut dalam ilusi, dipimpin oleh pejabat yang saling bertaruh dengan masa depan kita semua.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Transformasi Laut Cina Selatan

Oleh Radhar Tribaskoro (Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia)
pada hari Selasa, 03 Des 2024
Baru-baru ini rencana kerjasama pembangunan (Joint Development) Indonesia - China di Laut Cina Selatan mendapat kritik lagi. Kali ini dari Majalah The Economist yang cukup berwibawa. Majalah itu ...
Opini

Nausea Fufufafa, Distopia Indonesia

Rakyat Indonesia bakal menderita nausea berkepanjangan, jika Fufufafa terus menjadi orang nomor dua. Nausea adalah istilah medis yang merujuk pada perasaan tidak nyaman, pening kepala dan mual perut, ...