Oleh Ariady Achmad pada hari Senin, 24 Mar 2025 - 16:03:10 WIB
Bagikan Berita ini :

TNI Kembali Manyala: DPR dan Upaya Menghidupkan Dwifungsi di Era Reformasi

tscom_news_photo_1742806990.jpg
(Sumber foto : )


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tampak tak bergeming meski kritik publik terhadap revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) terus menguat. Rancangan revisi ini dikhawatirkan akan menghidupkan kembali praktik dwifungsi ABRI yang menjadi senjata politik Orde Baru dalam melanggengkan kekuasaan.

Janji supremasi sipil yang disampaikan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad pun tak meredakan kecemasan. Ia bergerilya mengundang para aktivis organisasi masyarakat sipil untuk meyakinkan bahwa revisi UU TNI tak akan mengancam demokrasi. Namun, substansi perubahan regulasi ini justru menunjukkan arah sebaliknya: memperluas peran militer ke sektor-sektor yang sebelumnya telah dibatasi demi menjaga profesionalisme TNI dan supremasi sipil.

Lantas, siapa aktor utama di balik revisi ini? Apa motif politiknya? Dan mengapa PDIP, partai yang selama ini dikenal sebagai pendukung supremasi sipil, justru menjadi motor utama perubahan ini?

Kembali ke Masa Lalu: Dwifungsi ABRI yang Bangkit dari Kubur

Salah satu prinsip utama reformasi 1998 adalah mengembalikan TNI ke baraknya dan menghapuskan dwifungsi ABRI—doktrin yang melegitimasi peran ganda militer di ranah pertahanan dan politik pada masa Orde Baru. Reformasi militer membatasi peran TNI hanya pada fungsi pertahanan negara, sementara fungsi keamanan dalam negeri diberikan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

Namun, rancangan revisi UU TNI justru meluaskan cakupan peran tentara di berbagai sektor, termasuk di wilayah kepolisian dan kejaksaan. Beberapa pasal memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil di luar 10 posisi kementerian/lembaga yang sebelumnya diizinkan dalam UU TNI Nomor 34 Tahun 2004. Ini membuka kembali ruang bagi militer untuk kembali terlibat dalam birokrasi sipil, mengaburkan batas antara supremasi sipil dan supremasi militer.

Tak hanya itu, revisi UU TNI juga berpotensi melegitimasi praktik pelanggaran regulasi yang sudah terjadi selama pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak perwira aktif TNI yang telah menempati jabatan sipil tanpa revisi UU. Jika aturan ini disahkan, maka praktik yang sebelumnya melanggar regulasi akan mendapatkan legalitas penuh.

DPR Tutup Kuping, Siapa yang Berkepentingan?

Sikap DPR yang bergeming terhadap kritik publik mengindikasikan bahwa ada kepentingan politik yang lebih besar di balik revisi UU TNI. Sejumlah partai politik tampak kompak dalam mendorong perubahan ini, termasuk PDIP—yang secara mengejutkan menjadi motor utama revisi.

PDIP selama ini dikenal sebagai partai yang vokal dalam menegakkan supremasi sipil dan mengkritik politik militerisme. Namun, dalam revisi ini, partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri justru berada di garda depan. Ada dugaan bahwa langkah ini merupakan bagian dari strategi politik PDIP untuk tetap relevan dalam peta kekuasaan setelah tidak menjadi bagian dari koalisi Prabowo Subianto.

Selain PDIP, aktor lain yang berkepentingan dalam revisi ini adalah kelompok elite militer yang ingin mendapatkan kembali pengaruhnya dalam politik dan birokrasi. Bagi mereka, regulasi ini membuka peluang bagi perwira TNI untuk kembali memiliki peran yang lebih luas dalam pemerintahan, sebuah hal yang nyaris mustahil terjadi pasca-reformasi.

Supremasi Sipil dalam Ancaman

Janji supremasi sipil yang disampaikan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad patut diuji. Jika revisi UU TNI ini disahkan, maka reformasi militer yang telah diperjuangkan sejak 1998 akan mengalami kemunduran besar.

Dalam sistem demokrasi, militer harus tunduk pada otoritas sipil, bukan sebaliknya. Negara-negara dengan demokrasi maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa memiliki prinsip ketat dalam membatasi peran tentara di ranah sipil. Indonesia, yang telah belajar dari pengalaman Orde Baru, seharusnya tidak kembali mengulang sejarah kelam di mana militer menjadi alat politik penguasa.

Ke Mana Arah Revisi Ini?

Revisi UU TNI ini akan menjadi ujian bagi demokrasi Indonesia. Jika disahkan tanpa perdebatan yang matang dan tanpa mempertimbangkan masukan dari masyarakat sipil, maka ini bisa menjadi awal dari era baru military-backed governance di Indonesia.

Reaksi publik akan menjadi faktor penentu. Jika masyarakat sipil dan akademisi bersikap pasif, maka revisi ini kemungkinan besar akan melenggang tanpa hambatan. Namun, jika ada tekanan kuat dari berbagai elemen bangsa, masih ada peluang untuk menghentikan atau setidaknya merevisi kembali poin-poin yang berbahaya dalam rancangan ini.

DPR harus menyadari bahwa keputusan yang mereka ambil dalam revisi UU TNI ini bukan hanya soal kebijakan hukum, tetapi juga soal masa depan demokrasi Indonesia. Jika mereka tetap tutup kuping, maka sejarah bisa mencatat mereka sebagai pihak yang membuka pintu bagi kembalinya dominasi militer dalam politik dan pemerintahan sipil.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
RAMADHAN 2025 H ABDUL WACHID
advertisement
DOMPET DHUAFA RAMADHAN PALESTIN
advertisement
RAMADHAN 2025 M HAEKAL
advertisement
RAMADHAN 2025 AHMAD NAJIB Q
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

Dugaan Konflik Kepentingan dalam Investasi Telkomsel di GOTO

Oleh Tim Teropong Senayan
pada hari Selasa, 25 Mar 2025
Jakarta, 25 Maret 2025- Dari investigasi yg didapat,muncul bukti baru yang memperkuat dugaan adanya keterlibatan orang dalam dalam keputusan investasi Telkomsel—anak perusahaan ...
Opini

Kejagung Harus Memastikan Pertamina Tidak Mengulang Lagi Penyimpangan Saat Pengadaan Minyak

JAKARTA - Pengadaan impor minyak mentah dan kondensat untuk kebutuhan kilang serta impor bahan bakar minyak (BBM) yang totalnya mencapai sekitar 1 juta barel perhari untuk memenuhi konsumsi BBM ...