Oleh Andi Rahmat, WKU KADIN INDONESIA Bidang Pertahanan pada hari Minggu, 15 Jun 2025 - 13:25:49 WIB
Bagikan Berita ini :

Kebijakan Pembentukan Batalyon-Batalyon Baru TNI

tscom_news_photo_1749968749.jpg
(Sumber foto : )

Pemerintahan Prabowo berniat membangun ratusan batalyon baru TNI. Yang akan segera direalisasikan berjumlah 100 batalyon teritorial. Dari berbagai keterangan yang disampaikan Kementerian Pertahanan, 100 batalyon teritorial ini ditujukan untuk membantu upaya pemerintah dalam mewujudkan program Ketahanan Pangan.

Banyak pihak mengkritisi upaya pemerintah ini. Dalam hal ini ada dua alasan utama yang mengemuka. Alasan pertama berkaitan dengan fungsi utama TNI sebagai elemen perang. Alasan kedua berkaitan dengan kekhawatiran menguatnya kembali militerisme dalam tata bernegara di Indonesia.

Kritisisme ini tentu saja memiliki basis argumentasi yang kuat. Sebagai elemen perang, TNI sudah seharusnya berfokus pada upaya memperkuat profesionalisme militernya. Dan bukannya malah menyibukkan diri dengan aktivitas yang bukan merupakan fungsi utamanya.

Demikian juga dengan kekhawatiran mengenai penguatan militerisme dalam kehidupan bernegara. Pengalaman traumatis dari era Orde Baru yang militeristik masih segar dalam ingatan banyak orang. Militer, seperti yang pernah disebutkan oleh Samuel Huntington, memiliki watak Praetorian.

Dalam pandangan ala Huntington ini, militer selalu menaruh kecurigaan dan ketidakpercayaan terhadap kemampuan kalangan sipil. Militer menganggap kalangan sipil seringkali tidak mampu mengatur dan mengorganisir dirinya sendiri dan karena itu, hanyalah militerlah yang bisa mewujudkan “ketertiban” yang tidak mampu diwujudkan oleh kalangan sipil.

Namun soal rencana pemerintah untuk membangun 100 Batalyon baru ini bukan tidak memiliki landasan argumentasi yang kuat. Raison d’ etre pembentukan postur pertahanan dan ketahanan nasional kita juga menunjukkan besarnya kebutuhan nasional kita terhadap pembentukan batalyon-batalyon baru di tubuh TNI. Terlepas dari kebutuhan pemerintah sendiri dalam mempercepat upayanya membangun ketahanan pangan nasional.

Ide membentuk 100 batalyon itu sebetulnya tidak benar-benar baru. Di masa Jenderal Ryamizard Ryacudu sebagai Menteri Pertahanan, ide ini sudah muncul. Yang membedakan adalah Jenderal Ryamizard menghendaki batalyon-batalyon ini murni merupakan batalyon tempur dengan kualifikasi raider. Batalyon-batalyon yang disiapkan untuk suatu pertempuran berlarut.

Kita seringkali melupakan pelajaran sejarah. Bahwa sepanjang sejarah, peradaban-peradaban besar yang kuat dan makmur selalu ditopang oleh kekuatan militer yang kuat. Bisa dikatakan, tidak ada bangsa- bangsa besar yang kuat dan makmur tanpa militer yang kuat. Kenyataan ini sudah menjadi adagium tersendiri.

Imperium besar dimasa lalu, seperti Yunani, Babylonia , Romawi, Persia, Kekhalifaan Islam, Kekaisaran China, Imperium Ottoman, imperium Mughal dan bahkan Majapahit, semuanya ditopang oleh kekuatan militer yang solid.

Demikian juga dengan Imperium Inggris, Spanyol, Rusia, Persia, Prancis, Prusia, Austro Hungaria. Dan di era sekarang, Amerika Serikat. Semuanya ditopang oleh kekuatan militer yang kuat. Kesemuanya itu menunjukkan bahwa kemakmuran ekonomi suatu bangsa memerlukan “pengawalan” yang kuat dari kemampuan militernya.

Lalu bagaimana menalar keinginan pemerintahan Prabowo yang hendak membangun 100 batalyon baru ini?.

Kalau meletakkan keinginan ini dalam kerangka ambisi bangsa Indonesia untuk menjadi kekuatan ekonomi dunia , kita bisa menemukan jejak keterhubungan argumentasinya. Presiden Prabowo dalam berbagai kesempatan sering sekali menyampaikan betapa besar kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Kekayaan ini, dalam kurun waktu yang lama menjadi incaran bangsa-bangsa lain disebabkan lemahnya bangsa Indonesia dalam menjaga dan memanfaatkan potensi besarnya itu.

Nampak sekali keinginan pemerintahan Prabowo untuk memastikan pencapaian kemakmuran bangsa pada saat yang sama sanggup pula dijaga dan ditopang dengan kuat oleh kekuatan militer bangsa Indonesia sendiri.

Keinginan ini tidak muluk. Berbagai peristiwa global akhir-akhir ini menunjukkan meningkatnya intensitas konflik antar negara yang berujung pada perang terbuka. Ditambah lagi, tensi ketegangan di kawasan Indo Pasifik yang melibatkan dua kekuatan besar dunia, Amerika Serikat dan China, menjadi sumber kekhawatiran tersendiri. Dan Indonesia, dikarenakan potensi kekayaannya yang besar dan letak geografisnya, tidak bisa terlepas dari dinamika itu.

Jika kita menilik pergeseran besar peta kekuatan ekonomi dunia, nampak jelas bahwa Asia, khususnya di kawasan Indo Pasifik merupakan episentrum baru bagi pergeseran kekuatan ekonomi dunia.

Di tahun 1960, Empat kekuatan ekonomi besar dunia adalah AS (USD 543 Milyar ), Jerman Barat ( USD 146 Milyar ), Inggris ( USD 73 Milyar) disusul Prancis ( USD 62 Milyar). Keempatnya adalah negara -negara Barat, 3 diantaranya berada di Eropa. Di perkirakan di tahun 2027 keadaan itu akan berubah dimana empat kekuatan ekonomi dunia berturut-turut adalah AS, China, Jepang dan India.

Pergeseran ini membawa konsekuensi pada peningkatan pergeseran proyeksi kekuatan-kekuatan dunia ke kawasan Indo Pasifik. Penulis berkesempatan menghadiri Pameran Indo Defence yang digelar baru-baru ini. Dalam berbagai kesempatan, kami mendengar dan berdiskusi dengan banyak perwakilan militer negara-negara lain. Yang pada intinya memiliki kesepahaman yang sama , bahwa kawasan Indo Pasifik sebagai kawasan ekonomi paling dinamis saat ini, dan karenanya juga menjadi kawasan yang secara militer pun turut mengalami ekskalasi dinamis. Kawasan ini kini menjadi titik baru bagi proyeksi militer banyak negara yang memiliki kepentingan ekonomi di kawasan ini.

Keadaan inilah yang mesti dihadapi dan dimitigasi dengan baik oleh pemerintahan Prabowo. Pembangunan ekonomi Indonesia kini tidak lagi zonder gesekan geopolitik dunia.

Bahkan, Indonesia sebagai kekuatan ekonomi baru di kawasan turut pula menarik perhatian bagi kepentingan strategis negara lain. Termasuk pula bagi kepentingan proyeksi militer negara-negara yang bahkan tidak berada dikawasan Indo Pasifik, seperti dari negara-negara Eropa.

Pergeseran proyeksi ini, dari sudut pandang penganut teori realisme dalam hubungan internasional, mencerminkan pula pergeseran episentrum konflik. Dari kacamata teori realisme, pergeseran ini bersifat survival ( keberlangsungan hidup ).

Ketegangan dikawasan ini bersumber dari kepentingan banyak negara untuk bertahan hidup ditengah arus deras perubahan dunia di berbagai sektor. Terutama survivalitas ekonomi bagi banyak negara-negara itu, yang kini dan dimasa datang, akan sangat banyak bergantung kepada kawasan Indo Pasifik.

Dalam mengantisipasi kesemuanya itu, kita diperhadapkan pada kekuatan Militer Indonesia yang masih sangat rawan. Baik itu peralatan maupun personil. Pengaruh penggentarnya belumlah memadai. Dan ini, bukannya tidak disadari. Sejak lama, keadaan kemampuan militer Indonesia yang masih jauh dari peernya dikawasan sudah menjadi pembahasan tersendiri.

Salah satu yang menjadi titik rawan itu adalah Jumlah personil Militer Indonesia. Untuk negara sebesar Indonesia, jumlah personil militer kita masih jauh dari rasio yang wajar. Terdapat 465.000 personil militer aktif di Indonesia. Rasio militer aktif dengan jumlah penduduk Indonesia adalah 1 : 600. Rasio yang bahkan lebih rendah dari negara tetangga seperti Malaysia yang rasionya 1 : 300.

Belum lagi ditambahkan dengan fakta bahwa Indonesia, tidak seperti Singapura atau Korea Selatan, tidak memiliki kebijakan wajib militer bagi warganya. Pemerintah sejak masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Jokowi berusaha mengatasi ini dengan upayanya untuk membentuk komponen cadangan. Yang kemudian sulit diwujudkan karena banyak ditentang oleh berbagai pihak.

Nampaknya, Pemerintahan Prabowo berkesimpulan bahwa ketimbang berupaya membentuk komponen cadangan yang selain ditentang oleh banyak pihak, juga tidak secara signifikan merubah dan memperkuat postur pertahanan Indonesia. Adalah lebih baik membentuk batalyon-batalyon baru sebagai komponen aktif militer Indonesia.

Batalyon-batalyon baru ini merupakan unsur militer murni yang dipersiapkan untuk menghadapi konflik bersenjata. Seluruh aspek pendidikan dan pelatihannya tetap sesuai dengan standar yang dimiliki oleh TNI.

Dimasa damai, selain dengan latar kemampuan militer murninya itu, batalyon-batalyon baru ini kemudian difungsikan pula untuk melakukan fungsi tambahan yang bersifat teritorial. Jika dicermati, TNI akan memiliki dua jenis batalyon. jenis pertama berupa batalyon-batalyon tempur murni yang betul-betul difungsikan untuk keperluan perang. Jenis kedua adalah batalyon-batalyon “cadangan “ TNI yang memiliki kemampuan teritorial non militer yang sewaktu-waktu dapat segera berfungsi sebagai komponen tempur atau perang.

Hal lain yang sepertinya bersifat strategis adalah upaya pemerintah untuk tidak memicu kekhawatiran negara-negara lain dengan pembentukan batalyon-batalyon baru.

Sebagaimana yang sudah dimafhumi, pembesaran kekuatan militer suatu negara, seringkali memicu meningkatnya kompetisi penguatan militer negara lain sebagai respon terhadap perkembangan militer negara lain. “ Penyamaran” kemampuan militer batalyon- batalyon baru ini dalam wujud batalyon “pembangunan “ merupakan cara pemerintahan Prabowo untuk tidak memicu kekhawatiran negara- negara lain dikawasan.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pembentukan batalyon-batalyon baru TNI pada dasarnya merupakan upaya untuk memperkuat postur pertahanan nasional Indonesia, menjaga traksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di lintas perdamaian dunia. Si vis pacem, para bellum (siapa yang menginginkan perdamaian harus siap untuk berperang ).

Tinggallah kini satu pertanyaan dasar yang harus dijawab dengan baik oleh pemerintahan Prabowo. Apakah fungsi teritorial batalyon-batalyon baru itu tidak kemudian menjadi alat untuk mendegradasi demokrasi? Atau dengan kata lain, keberadaan batalyon-batalyon teritorial tersebut sewaktu-waktu bisa menjadi alat mobilisasi militerisme di Indonesia?

Penulis pribadi berprasangka bahwa Pemerintahan Prabowo memiliki komitmen yang kuat untuk tetap menjaga supremasi sipil dan keberlanjutan sistem demokrasi yang sehat di Indonesia. Pranata institusi sipil Indonesia cukup kuat untuk menopang sistem demokrasi kita. Presiden Prabowo nampaknya menyadari besarnya energi yang diperlukan bangsa ini untuk merubah semua itu.

Lagipula, militerisme tidak pula bersinonim dengan pembangunan militer. Ada banyak pelajaran temporer yang menunjukkan betapa berbahayanya upaya memiliterisasikan suatu bangsa. Ambil contoh Korea Selatan, negara demokratis yang memiliki rezim wajib militer yang kuat, yang baru-baru ini memakzulkan Presidennya yang tiba-tiba menerapkan Darurat Militer. Atau upaya kudeta gagal yang dilakuan sekelompok petinggi militer di Turkiye.

Pada akhirnya, adalah keperluan kita bersama untuk selalu bersikap kritis terhadap setiap gerik penyelenggaraan negara. Salah satu ciri dari sehatnya supremasi sipil di dalam suatu bangsa adalah hadirnya kesadaran untuk melakukan checks and balances. Indonesia memerlukan militer yang kuat, bukan militerisme yang kuat. Cukuplah pengalaman sejarah dimasa lalu menjadi pelajaran berharga bangsa ini. Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutly. Wallahualam .

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
PEMPEK GOLDY
advertisement
KURBAN TS -DD 2025
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

IMAIBANA Gelar Dialog Publik Menatap Masa Depan Danau Toba, Soroti Antara Potensi Besar dan Tantangan Strategis

Oleh Arie, Aktivis SKUAD INDEMO
pada hari Minggu, 15 Jun 2025
Jakarta, 13 Juni 2025 – Destinasi Pariwisata Danau Toba memiliki latar historis yang menakjubkan sebagai danau vulkanik terbesar di dunia dan danau secara umum terbesar di Asia Tenggara. Dengan ...
Opini

Mukjizat di Seat 11A

Pada pagi yang semula biasa saja, 12 Juni 2025, pesawat Air India AI171 lepas landas dari Bandara Internasional Sardar Vallabhbhai Patel di Ahmedabad, India, menuju London Gatwick, Inggris. Namun ...