Oleh Ir. Ali Wongso Sinaga – Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional SOKSI pada hari Sabtu, 16 Agu 2025 - 18:45:07 WIB
Bagikan Berita ini :
Refleksi 80 Tahun Indonesia Merdeka

Transformasi Mengakhiri Kleptokrasi Menuju Agathokrasi di Bawah Kepemimpinan Nasional Presiden Prabowo

tscom_news_photo_1755344707.jpg
Ali Wongso Sinaga Ketua Umum SOKSI (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Tahun 2025 adalah tahun simbolik. Pada 17 Agustus besok, Indonesia genap 80 tahun merdeka. Momentum ini bukan sekadar perayaan seremonial, melainkan kesempatan untuk berefleksi : apakah bangsa yang diperjuangkan dengan darah dan nyawa para pendiri republik sudah benar-benar merdeka dari penjajahan dan sudah bergerak menuju cita-cita bangsa selaras alinea 4 Pembukaan UUD 1945?

Jika dahulu penjajahan datang dari asing, kini bentuknya berubah : kleptokrasi—pemerintahan yang disandera para pencuri dan perampok sumber daya publik. Demokrasi yang semestinya memperkuat rakyat justru dikendalikan politik uang, oligarki, mafia ekonomi dan politik.

Presiden Prabowo Subianto, jauh sebelum terpilih, telah mengingatkan dalam bukunya Paradoks Indonesia ( 2017 ) bahwa bila demokrasi dikuasai oleh uang dan rente, maka hasil akhirnya adalah kleptokrasi. Kini, dengan mandat rakyat sejak 20 Oktober 2024, ia berada di persimpangan sejarah : sebagai Presiden pemegang mandat rakyat ia mesti mengukir sejarah baru dengan memimpin transformasi nasional untuk mengakhiri kleptokrasi dan meletakkan dasar agathokrasi—pemerintahan berintegritas yang dijalankan orang-orang baik untuk kepentingan rakyat bangsa dan negara.

Momentum 80 tahun kemerdekaan menjadi ujian kepemimpinan nasional. Kepemimpinan nasional berarti kemampuan Presiden menggerakkan seluruh instrumen negara—eksekutif, legislatif, yudikatif, TNI–Polri, pemerintah daerah, BUMN, dan masyarakat sipil—untuk bergerak serentak memutus rantai kleptokrasi dan menuju agathokrasi dengan membangun sistem pemerintahan yang kuat dan efektif melayani rakyat.

Langkah Awal: Komitmen dan Kebijakan

Sejak awal, Prabowo mengusung narasi zero tolerance terhadap korupsi. Ia menegaskan “negara akan hadir dan bertindak tanpa pandang bulu” dan mendorong reformasi penegakan hukum. Instruksi Presiden No. 25/2025 menjadi salah satu langkah strategis, memberi dukungan penuh kepada Kejaksaan untuk memberantas korupsi dan kejahatan ekonomi besar.

Digitalisasi tata kelola, pemangkasan belanja inefisien dan tak efektif lewat Inpres No. 1/2025, serta penguatan koordinasi aparat penegak hukum serta atensi terhadap terbangunnya pelaku ekonomi kerakyatan dan perdesaan menjadi pondasi awal yang masih berproses kedepan. Sebab perang melawan kleptokrasi hanya berhasil jika konsisten tanpa ambivalensi serta masuk total ke inti jaringan mafia yang menguasai sumber daya, hukum, dan politik.

Dua Belas Gunung Es Kleptokrasi

Kleptokrasi di Indonesia telah menjadi sistem yang menggurita. Ada sedikitnya dua belas “gunung es kleptokrasi” berupa mafia yang menggerogoti negara terus menerus selama ini:

1. Mafia hukum – jual beli perkara, manipulasi bukti, intervensi penyidikan hingga kriminalisasi hukum.

2. Mafia migas – rente impor minyak, mark-up kilang, tata niaga energi yang bermasalah ; harga BBM jauh lebih murah di negara tetangga.

3. Mafia tambang minerba – penambangan ilegal, transfer pricing, ekspor terselubung.

4. Mafia pangan – monopoli dan kartel impor berbasis kuota, penimbunan, pengoplosan hingga permainan data dan harga beras.

5. Mafia tanah dan pagar laut – sertifikat ganda, penyerobotan lahan, reklamasi ilegal hingga sertifikasi tanah fiktif di atas laut.

6. Mafia narkoba – jaringan internasional yang bahkan melibatkan oknum aparat dengan jangkauan perkotaan hingga perdesaan.

7. Mafia judi online (judol) – jaringan internasional yang menghancurkan moral, ekonomi keluarga, dan produktivitas bangsa.

8. Mafia pendidikan – korupsi dana BOS, pengadaan buku, hingga fasilitas sekolah.

9. Mafia keuangan – manipulasi kurs, obligasi, pencucian uang, termasuk skandal CSR BI dan OJK sebagai gratifikasi kepada pengawas.

10. Mafia infrastruktur – permainan tender, mark-up PSN, proyek molor.

11. Mafia farmasi – harga obat jauh lebih tinggi dibanding negara tetangga akibat kartel.

12. Mafia sawit – penghindaran pajak, penguasaan ilegal atas lahan negara.

Akumulasi kerugian akibat pencurian jaringan mafia ini mencapai ribuan triliun rupiah setiap tahun. Inilah wajah penjajahan baru itu – kleptokrasi.

Lingkar Kepemimpinan Nasional

Presiden Prabowo sedang menghadapi dilema berat. Sebagian pejabat di lingkar kekuasaan masih dipertanyakan oleh publik tentang integritasnya bahkan kapasitasnya jika berbasis problem solving oriented. Ada yang memiliki rekam jejak kasus hukum, konflik kepentingan, atau kegagalan reformasi birokrasi.

Padahal, kepemimpinan nasional untuk menggerakkan transformasi mengakhiri kleptokrasi ini tidak bisa dibangun di atas fondasi yang tanggung apalagi rapuh tetapi harus di atas fondasi yang kuat dan kokoh – siap bergerak efektif dan efisien menuju sasaran. Latar belakang baju nomor dua, tapi nomor satu adalah sasaran. Meminjam adagium Deng yang mirip : “ tak peduli kucing itu hitam atau putih atau belang, yang penting mampu menangkap tikus apapun, dan adalah haram hukumnya jika kucing berubah jadi tikus”.

Presiden harus berani melakukan audit integritas dan kapasitas setiap individu lingkar kepemimpinan nasional. Mencopot pejabat yang tidak lolos audit tanpa pandang bulu, meski memiliki modal politik besar. Kepemimpinan nasional yang bersih, kuat, efektif dan efisien adalah prasyarat mutlak bagi transformasi demi negara mengakhiri kleptokrasi.

Aparat Penegak Hukum : Integritas dan Target Besar

Kejaksaan, Polri, dan KPK adalah ujung tombak dalam perang melawan kleptokrasi dengan dukungan BPK, PPATK, BPKP. Mereka harus bagaikan sapu yang bersih untuk menyapu dan membersihkan lantai kotor. Tetapi perang ini juga tidak akan pernah dimenangkan jika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Publik menuntut keberanian aparat menindak kartel ekonomi-politik di level puncak. Publik berhak bertanya, bukankah pejabat tinggi negara yang mestinya adalah yang paling bertanggung jawab atas suatu “korupsi kebijakan” dibidang tugasnya ?

Budaya Keteladanan

Reformasi kelembagaan saja tidak cukup. Indonesia harus menumbuhkan budaya keteladanan dari atas kebawah disetiap lingkup dan level. Di banyak negara maju, pejabat mundur bukan hanya karena terbukti bersalah, tetapi juga karena gagal memenuhi standar publik. Di Indonesia, sikap ini masih langka.

Membangun agathokrasi berarti menumbuhkan budaya malu pejabat jika sampai gagal berprestasi, apalagi jika korupsi. Pengunduran diri dari jabatannya harus sebagai norma yang membudaya ketika integritas atau kinerjanya dipertanyakan publik. Dengan demikian, jabatan dipahami sebagai amanah, bukan privilege.

Para kleptokrat atau koruptor dan eks narapidana korupsi selain dihukum oleh peradilan juga wajar menerima bentuk sanksi sosial dari publik simultan dengan dukungan reformasi hukum yang ketat mencegahnya kembali ke kekuasaan apapun di dalam struktur negara.

DPR : Garda Depan atau Bagian Masalah?

Transformasi mengakhiri kleptokrasi menuju agathokrasi mustahil tercapai bila DPR—pemegang fungsi vital : legislasi, anggaran, dan pengawasan—terjebak dalam lingkaran krisis integritas.

Kasus CSR Bank Indonesia dan OJK yang menyeret Komisi XI DPR sebagaimna diungkap KPK baru-baru ini menjadi cermin keras dari kleptokrasi. Jika gratifikasi ini benar terbukti, publik berhak bertanya : penyimpangan apa yang sebenarnya ditutupi dengan uang tersebut ? Apakah gratifikasi ini sebagai konfirmasi indikasi adanya mafia moneter dan fiskal yang selama ini menjadi isu sensitif ? Jika DPR gagal bersih-bersih, reformasi akan kehilangan legitimasi politik dan ancaman besar bagi transformasi.

Optimasi Penerimaan dan Efisiensi Belanja Negara

Ditengah beban fiskal negara yang kian berat termasuk kewajiban membayar cicilan hutang negara yang besar seiring kondisi ekonomi rakyat yang lesu, bahwa kebijakan menaikkan tarif pajak kepada rakyat seperti PBB, PPH, PPN disatu sisi dan disisi lain justru menaikkan gaji dan tunjangan pejabat dalam struktur yang besar, apa bukan justru kontraproduktif?

Pemerintah perlu menahan diri dan membuat terobosan - terobosan penerimaan negara seperti penguatan kehadiran negara dalam pengelolaan sumber daya alam strategis (tambang minerba, migas, kehutanan, kelautan) melalui model bagi hasil atau kepemilikan saham negara sesuai Pasal 33 UUD 1945 selain mengoptimalisasikan BUMN strategis agar efektif dan efisien agar memberi deviden signifikan kepada kas negara dan pajak progresif terhadap kelompok berpenghasilan tinggi, penguatan pengawasan pajak sektor digital dan finansial, serta penegakan hukum atas penghindaran pajak skala besar.

Dalam kondisi seperti ini, logika kebijakan publik seharusnya sederhana : negara harus mengencangkan ikat pinggang dengan gerakan penghematan nasional, dan menghindari pemborosan serta fokus pada penerimaan negara yang berkeadilan.

Masyarakat harus diyakinkan dengan fakta bahwa tidak ada paradoks: pejabat semakin nyaman, sementara rakyat semakin terhimpit oleh biaya hidup, pajak, dan minimnya dukungan fiskal.

Kebijakan fiskal harus dipastikan sejalan dengan semangat konstitusi, terutama Pasal 23 dan Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa keuangan negara harus dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Agenda Transformasi

Ada tujuh langkah strategis sebagai agenda transformasi untuk mengakhiri kleptokrasi dan menegakkan agathokrasi :

1. Membersihkan Lingkar Kekuasaan – audit integritas dan kapasitas pejabat tinggi eksekutif dan yudikatif, copot yang gagal, yang lemah : tidak efektif dan inefisien tanpa pandang bulu.

2. Membongkar Mafia Sumber Daya – sedikitnya 12 mafia dari migas hingga sawit.

3. Reformasi Penegakan Hukum – penguatan dan sinergi KPK–Kejaksaan–Polri, percepat eksekusi kasus besar; Penguatan hukum perundang-undangan mendukung transformasi mengakhiri kleptokrasi.

4. Mendorong Reformasi DPR – membuka ruang transparansi publik pada legislasi dan anggaran serta fungsi pengawasan DPR untuk sosial control ; Partai politik bertanggungjawab mengawasi anggotanya.

5. Gerakan Penghematan Nasional dan Optimasi Penerimaan Negara – berbagai bentuk penajaman efisiensi anggaran belanja rutin untuk penghematan dapat dilakukan hingga pola hidup sederhana ; transformasi pengelolaan sumber daya alam strategis sesuai Pasal 33 UUD 1945.

6. Transparansi Total – reinventing goverment management dengan menerapkan e-government untuk kepastian terwujudnya good governance - transparansi dan akuntabilitas publik guna menutup celah rente dan peningkatan pelayanan publik di semua cabang kekuasaan.

7. Budaya Keteladanan - budaya malu dan mundur dari jabatan – jadikan standar etika jabatan publik dan mendorong partisipasi aktif masyarakat mengawasi dan mendukung budaya keteladanan para pejabat disetiapa lingkup dan level.

Momentum Emas atau Gagal Sejarah?

Peringatan 80 tahun kemerdekaan adalah ujian sejarah bagi kepemimpinan nasional. Presiden Prabowo memiliki modal politik besar, dukungan rakyat, dan visi yang telah ia rumuskan sejak 2017 dalam bukunya “Paradoks Indonesia”. Tinggal perlu langkah-langkah berani dan cerdas serta konsisten—membersihkan lingkar kekuasaan tanpa pandang bulu,mendorong reformasi DPR, menegakkan hukum terutama tajam ke atas, memberantas mafia lintas sektor sampai keakar-akarnya, dan menumbuhkan budaya keteladanan secara total menyeluruh—maka transformasi mengakhiri kleptokrasi ini niscaya berhasil besar dan gilang gemilang.

Sejarah akan mencatat dua kemungkinan. Pertama, Indonesia berhasil keluar dari jerat kleptokrasi dan melangkah menuju agathokrasi yaitu pemerintahan berintegritas, memberi keadilan sosial dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Kedua, Indonesia tetap terjebak dalam paradoks : kaya sumber daya, tapi rakyatnya miskin, sementara demokrasi dipermainkan.

Kini bola ada di tangan Presiden Prabowo dan seluruh kepemimpinan nasional yang dibangunnya beserta dukungan seluruh rakyat. Vox populi, vox dei—suara rakyat adalah suara Tuhan. Rakyat telah memberi mandat dan mari kita dukung penuh agar kemungkinan pertama yang akan terjadi. Sejarah menunggu keberanian dan konsistensi kepemimpinan nasional Presiden Prabowo beserta dukungan rakyat bersama seluruhnya untuk keberhasilan transformasi mengakhiri kleptokrasi dan membuka jalan menuju agathokrasi – Indonesia Emas 2045 selaras Pembukaan UUD 1945.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #soksi  #prabowo-subianto  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
HUT R1 2025 AHMAD NAJIB
advertisement
HUT RI 2025 M HEKAL
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
HUT RI 2025 SOKSI
advertisement
Lainnya
Opini

Reformasi BUMN: Prabowo Harus Hentikan Warisan ‘Perusahaan Abal-Abal’ Jokowi, SBY, dan Mega

Oleh Ariady Achmad
pada hari Sabtu, 16 Agu 2025
TEROPONGSENAYAN.COM - Jakarta, Presiden Prabowo Subianto menegaskan tak boleh lagi ada “BUMN abal-abal”. Pernyataan itu bukan sekadar teguran, melainkan sinyal keras bahwa era baru ...
Opini

80 Tahun Merdeka: Kembalikan Penerimaan Negara ke Pasal 33 UUD 1945 Demi Keadilan Sosial

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Tahun 2025 menandai 80 tahun Indonesia merdeka. Momentum ini seharusnya menjadi ajang refleksi jujur, bukan sekadar seremoni. Salah satu persoalan strategis yang perlu ...