Oleh Muhammad Said Didu pada hari Rabu, 10 Des 2025 - 12:19:35 WIB
Bagikan Berita ini :

Bauksit Dilepas ke Asing: Warisan Sepuluh Tahun yang Membuat Negara Kehilangan Kedaulatan

tscom_news_photo_1765343975.jpg
(Sumber foto : )

Selama satu dekade terakhir, rezim Joko Widodo berkali-kali mempromosikan “hilirisasi” sebagai mahkota keberhasilan pembangunan ekonomi. Pemerintah menggembar-gemborkan bahwa Indonesia tak lagi menjadi eksportir bahan mentah, melainkan negara industri yang naik kelas. Namun di balik slogan-slogan yang berkilau itu, terdapat ironi pahit: justru pada masa inilah negara melepaskan kendali atas industri bauksit—komoditas strategis yang semestinya menjadi tulang punggung kemandirian industri nasional.

Faktanya, dari hulu hingga hilir, lebih dari 90% penguasaan rantai industri bauksit kini berada di tangan asing dan oligarki, sementara BUMN yang dulu menjadi pilar kedaulatan kini tersingkir nyaris ke titik nadir. Bila ini bukan bentuk kehilangan kedaulatan, lalu apa?

Negara Kaya Bauksit, Tapi Miskin Kekuatan Industri

Indonesia memiliki 2,8 miliar ton cadangan bauksit, terbesar ke-4 di dunia. Dengan porsi hampir 10% cadangan global, Indonesia mestinya menjadi raksasa industri aluminium dunia. Tetapi alih-alih memperkuat BUMN dan kemampuan domestik, kita justru menyaksikan liberalisasi besar-besaran di bawah panji “hilirisasi”.

Pertanyaan mendasarnya sederhana:
Jika negara punya cadangan sebesar itu, mengapa yang menikmati nilai tambah justru investor asing dan konglomerat?

SGA/CGA: Dari 100% BUMN Menjadi Hanya 3,6%

Di sinilah letak tragedi pertama. Sebelum era Jokowi, Antam dan Inalum menguasai 100% pemurnian bauksit menjadi SGA/CGA. Sebuah struktur yang sehat: negara mengendalikan titik paling strategis dalam rantai industri aluminium.

Namun kini, menurut data yang saya sampaikan:

BUMN hanya menguasai 3,6% kapasitas nasional.

Produksi 27 juta ton dikuasai 17 perusahaan asing dan swasta.

Antam–Inalum hanya tersisa sekitar 1 juta ton.


Sebesar inikah harga sebuah “hilirisasi”?
Hilirisasi yang membuat negara hilang kendali, sementara investor asing berjaya?

Aluminium Ingot: Dominasi Asing 91,4%

Tragedi kedua lebih dramatis. Tahap pemurnian lanjutan—yang menghasilkan aluminium ingot, produk bernilai tambah tinggi—dulu sepenuhnya berada di tangan BUMN melalui Inalum.

Sekarang?

BUMN tinggal memegang 8,6% kapasitas produksi.

Asing dan swasta menguasai 91,4%, atau 2,1 juta ton per tahun.

Kapasitas Inalum tinggal 275.000 ton.


Inilah privatisasi senyap yang tidak pernah diumumkan di panggung publik. Tidak pernah dibahas secara transparan. Tidak pernah menjadi debat nasional. Tetapi dampaknya luar biasa: negara tidak lagi berdaulat terhadap komoditasnya sendiri.

Hilirisasi atau Justru Penyerahan Industri?

Pemerintah Jokowi mungkin benar ketika menyatakan bahwa hilirisasi meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja. Tetapi investasi tanpa kedaulatan bukanlah pembangunan; itu adalah ketergantungan yang disamarkan.

Ketika smelter-smelter raksasa berdiri megah di Kalimantan dan Kepulauan Riau, sebagian besar dikendalikan perusahaan Tiongkok dan pengusaha besar dalam negeri yang bersekutu dengan kekuasaan.

Maka hilirisasi yang dipuji itu memiliki wajah lain:

negara menjadi pemasok bahan mentah di negeri sendiri,

BUMN kehilangan posisi strategis,

harga aluminium nasional tidak ditentukan negara,

oligarki memperoleh keuntungan supernormal,

dan rakyat hanya menjadi penonton di tanahnya sendiri.


Hilirisasi semacam ini bukan kedaulatan; ini adalah penyerahan kedaulatan.

Ini Bukan Soal Jokowi Semata—Ini Soal Model Ekonomi yang Gagal

Masalah ini lebih dari sekadar persoalan satu rezim. Ini cerminan model pembangunan ekstraktif yang mengabaikan:

kapasitas negara,

kemampuan BUMN,

penguatan industri nasional,

dan keberlanjutan jangka panjang.


Selama negara hanya mengejar investasi jangka pendek, industri strategis akan terus jatuh ke tangan pihak yang paling kuat modalnya. Dan itu bukan negara.

Prabowo Mewarisi Krisis Industri Strategis

Kini tongkat kepemimpinan telah berpindah. Pemerintahan Prabowo Subianto mewarisi sebuah industri yang terfragmentasi, dikuasai swasta, dan melemahkan posisi BUMN. Jika tidak ada koreksi kebijakan yang berani, Indonesia akan sepenuhnya kehilangan peluang menjadi kekuatan aluminium dunia, padahal cadangannya kita miliki.

Harus ada perubahan mendasar:

1. Mengembalikan dominasi BUMN dalam pemurnian dan industri aluminium.


2. Merevisi model hilirisasi yang terlalu memanjakan investor asing.


3. Menghentikan privatisasi senyap sumber daya mineral strategis.


4. Membangun roadmap kedaulatan industri aluminium nasional.


5. Menata ulang izin, akuisisi, dan struktur kepemilikan smelter.

Tanpa langkah-langkah ini, Prabowo hanya akan menjadi penerus kebijakan yang melemahkan kedaulatan mineral kita.

Jangan Biarkan Ini Menjadi Kuburan Industri Nasional

Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang menyerahkan industri strategisnya kepada pihak asing dan oligarki. Bangsa yang besar adalah bangsa yang berdaulat atas sumber daya alamnya, memanfaatkan cadangannya untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan investor semata.

Jika warisan sepuluh tahun terakhir tidak segera diperbaiki, maka Indonesia akan kehilangan lebih dari sekadar bauksit: kita kehilangan martabat sebagai negara yang mestinya berkuasa atas kekayaannya sendiri.

Semoga rezim baru masih punya kesempatan untuk memperbaiki, sebelum semuanyaterlambat.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
PRAY SUMATRA
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement