Oleh Dwi Nugroho Marsudianto pada hari Kamis, 11 Sep 2025 - 11:47:35 WIB
Bagikan Berita ini :

Peneliti Spektrum Demokrasi Indonesia Ingatkan Kerusuhan Nepal Pelajaran Penting Bagi Indonesia

tscom_news_photo_1757566055.jpg
Dwi Nugroho Marsudianto (Sumber foto : Istimewa)

TEROPONGSENAYAN.COM - JAKARTA – Peneliti Spektrum Demokrasi Indonesia, Dwi Nugroho Marsudianto, menuturkan gelombang protes dan kerusuhan sosial yang melanda Nepal beberapa hari terakhir menjadi peringatan keras bagi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Ribuan demonstran, mayoritas dari generasi muda Gen Z, mengguncang Nepal setelah pemerintah melarang 26 platform media sosial karena gagal memenuhi tenggat waktu pendaftaran ke Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi Nepal.

Kebijakan sepihak itu memantik amarah publik, ditambah dengan munculnya isu “Nepo Kids” dimana anak-anak pejabat memamerkan kemewahan di tengah krisis ekonomi. Eskalasi tersebut mengakibatkan 22 orang tewas, menjatuhkan Perdana Menteri Nepal Sharma Oli serta menciptakan krisis kepemimpinan baru.

Dwi mengingatkan bahwa konteks Indonesia tidak jauh berbeda. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2025 menunjukkan lebih dari 79 persen penduduk Indonesia telah terhubung ke internet, dengan dominasi dari kalangan muda. Platform seperti TikTok, Instagram, dan X menjadi panggung utama penyampaian kritik publik. Jika ruang digital dibatasi tanpa proses partisipatif, potensi eskalasi sosial seperti Nepal bukan mustahil dapat terjadi di Indonesia.

"Kerusuhan Nepal harus menjadi pelajaran penting bagi Indonesia. Demokrasi digital menuntut negara hadir bukan dengan cara membatasi, melainkan dengan memastikan ruang ekspresi tetap terbuka dan adil. Hanya dengan begitu, generasi muda bisa menjadi motor penguatan demokrasi, bukan pemicu kerusuhan sosial,” tegas Dwi di Jakarta, Kamis (11/9/25).

Dwi memaparkan faktor lain yang juga relevan adalah soal kesenjangan sosial dan gaya hidup elit politik. Fenomena “Nepo Kids” di Nepal juga tercermin di Indonesia. Masyarakat Indonesia sering menyoal gaya hidup pejabat dan keluarganya yang memamerkan gaya hidup mewah di tengah keterpurukan ekonomi rakyat dan tingginya angka pengangguran. Kontras sosial tersebut menimbulkan perasaan ketidakadilan yang kuat di masyarakat dan menjadi bom waktu yang siap meledak.

"Indonesia harus mencermati dengan serius isu ini. Ketimpangan antara elit politik dan masyarakat bisa menjadi bahan bakar protes. Gen Z kita di Indonesia adalah kelompok yang paling aktif di media sosial, paling kritis, dan paling cepat merespons isu ketidakadilan,” katanya.

Nepal juga memperlihatkan betapa bahayanya ketidakadilan sosial. Hukum yang ditegakkan diskriminatif dan pembangunan yang timpang, memperlebar jurang antar wilayah. Indonesia pun masih menghadapi situasi serupa. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2025 menunjukkan masih terdapat ketimpangan pembangunan yang tajam antara Jawa dan kawasan timur Indonesia

“Hukum yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, serta pembangunan yang timpang, merupakan kombinasi yang bisa memicu kemarahan publik. Kalau ini dibiarkan, Indonesia berisiko mengalami apa yang terjadi di Nepal,” ujar Dwi.

Pelajaran lain dari Nepal adalah lemahnya institusi negara. Pemerintah yang rapuh dan aparat yang kehilangan kepercayaan publik membuat konflik sulit diredam. Karenanya, Indonesia harus mampu menjaga profesionalitas lembaga negara, terutama aparat keamanan. Polisi dan TNI dituntut bertindak tegas sekaligus transparan agar tetap dipercaya masyarakat.

"Nepal runtuh karena lembaga-lembaga negara rapuh dan aparat keamanan kehilangan legitimasi. Indonesia tidak boleh mengulang kesalahan itu. Kepercayaan publik hanya bisa dijaga melalui profesionalitas, transparansi, dan konsistensi penegakan hukum," urai Dwi.

Dwi juga menyoroti lemahnya manajemen krisis pemerintah Nepal. Respons yang lamban dan komunikasi publik yang buruk dari pemerintah Nepal memperbesar eskalasi yang terjadi. Indonesia harus belajar untuk bersikap cepat, transparan, dan terbuka dalam menghadapi isu yang berpotensi memicu kerusuhan. Pemerintah harus hadir sebagai fasilitator dialog, bukan hanya regulator.

"Saatnya Indonesia memperkuat demokrasi digital, mempersempit jurang ketidakadilan sosial, menjaga profesionalitas aparat, serta membangun komunikasi publik yang sehat. Jika tidak, Indonesia berisiko menghadapi gelombang aksi massa serupa yang dapat mengguncang stabilitas nasional," tutupnya. (*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
HUT R1 2025 AHMAD NAJIB
advertisement
HUT RI 2025 M HEKAL
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
HUT RI 2025 SOKSI
advertisement