Oleh Radhar Tribaskoro pada hari Jumat, 12 Sep 2025 - 10:35:18 WIB
Bagikan Berita ini :

PROTES GEN-Z INDONESIA-NEPAL DAN BAYANGAN MULTIPOLAR

tscom_news_photo_1757648118.jpeg
(Sumber foto : )

Ada yang serupa dalam gelombang protes yang melanda Nepal dan Indonesia. Orang-orang muda turun ke jalan, massa marah meledak tanpa aba-aba, dan negara—sebagai institusi tertinggi yang semestinya menjadi sandaran—mendadak terasa rapuh. Barisan polisi, pagar kawat, pernyataan pejabat, semuanya tampak ringkih di hadapan amarah yang tak lagi bisa ditahan.

Protes itu, tentu saja, berakar pada persoalan domestik. Di Nepal, frustrasi generasi muda menumpuk pada politik yang penuh intrik, elit yang tak lagi punya wibawa, dan ekonomi yang tak sanggup memberi pekerjaan. Di Indonesia, kerusuhan lahir dari gabungan antara ketidakadilan ekonomi, manipulasi politik, dan rasa dikhianati oleh pemimpin yang dianggap membelokkan amanah reformasi. Kita tak bisa menutup mata: inti persoalan tetap ada di dalam, bukan di luar.

Namun, sejarah politik jarang bergerak hanya dari satu arah. Ada gelombang lain yang datang dari jauh, kadang hanya berupa arus samar, tapi cukup untuk mengguncang keseimbangan. Protes bisa lahir dari dalam, tapi ia juga bisa dipercepat oleh pusaran geopolitik global.

Sebuah podcast Think BRICS bertajuk “What’s Really Behind Nepal’s Turmoil” mengajukan proposisi yang terdengar berani: Inggris ikut campur memantik protes Gen Z di Kathmandu. Alasannya sederhana: sebagian besar anggaran pendidikan Nepal masih berada dalam jangkauan jaringan Inggris. Melalui kanal pendidikan, pengaruh itu menjangkau anak-anak muda, lalu memantul dalam bentuk protes jalanan.

Apakah fakta ini bisa diverifikasi? Belum tentu. Kontribusi itu memang ada dan signifikan, tetapi mengasumsikan Gen-Z Nepal termotivasi langsung oleh hal itu terlalu berlebihan. Hubungan seperti itu bersifat spekulatif. Tapi spekulasi semacam itu penting—bukan untuk menggantikan realitas domestik, melainkan untuk membuka ruang tafsir tentang bagaimana politik global masuk ke ruang-ruang paling intim dari politik lokal. Seperti halnya angin laut yang mendorong api unggun, protes domestik bisa tiba-tiba membesar karena ada arus besar yang mendorong dari luar.

Hari ini, arus besar itu bernama multipolarisme. Barat—Amerika Serikat dan Inggris terutama—tahu bahwa masa kekuasaan tunggal mereka kian singkat. Dunia berubah. China tumbuh sebagai kekuatan industri dan teknologi. Rusia, meski terperosok dalam perang Ukraina, tetap bertahan sebagai kekuatan militer yang menantang. Negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin tak lagi merasa harus berada dalam orbit Washington.

Simbol paling jelas dari perubahan itu adalah BRICS. Aliansi yang dulu dianggap hanya klub ekonomi pinggiran, kini bertransformasi menjadi blok politik, bahkan lambang resistensi terhadap dominasi Barat. Ketika Arab Saudi, UEA, Mesir, dan Ethiopia bergabung, ketika ada wacana pembayaran lintas negara tanpa dolar, Barat mulai gelisah. Dan jika Indonesia—negara terbesar di Asia Tenggara, anggota G20, poros Indo-Pasifik—memutuskan untuk bergabung, gelisah itu bisa berubah menjadi ketakutan.

Dalam kerangka ini, protes di Nepal dan Indonesia mendapat lapisan makna baru. Nepal adalah negara kecil, tapi terletak di antara dua raksasa: India dan China. Stabilitas Nepal penting untuk keseimbangan Himalaya, penting juga untuk kelancaran jalur infrastruktur Belt and Road. Jika Nepal terguncang, hubungan China–India yang rapuh bisa retak, dan BRICS akan kehilangan salah satu simpul pentingnya. Maka, jika ada intervensi Inggris di sana—langsung atau tidak langsung—kita bisa membacanya sebagai upaya untuk mengganggu harmoni Sino-India sebelum benar-benar terjalin.

Sementara di Timur Tengah, AS memainkan kartu Israel. Hampir semua tindakan Israel—dari Gaza hingga serangan ke Iran—mendapat restu, atau setidaknya toleransi. Termasuk ketika serangan itu sampai ke Qatar, sebuah negara kecil tapi penting dalam percaturan energi dan diplomasi kawasan. Dukungan mutlak terhadap Israel bukan hanya soal sentimen lama, tapi juga strategi: menjaga agar Timur Tengah tetap dalam orbit Barat, ketika pengaruh China dan Rusia semakin kuat lewat Iran, Suriah, dan mediasi perdamaian yang gagal dipatahkan.

Dengan begitu, dua poros multipolarisme—BRICS dan Timur Tengah—berhadapan langsung dengan dua strategi Barat: mengacaukan Nepal, menguatkan Israel.

Tetapi lagi-lagi, ini masih spekulasi. Kita tak boleh menutup mata dari fakta bahwa setiap protes memiliki akar domestik yang nyata. Anak-anak muda Nepal turun ke jalan bukan karena ada tangan Inggris yang mengatur, melainkan karena mereka muak dengan politik tua yang membusuk. Demikian pula di Indonesia: rakyat marah bukan karena geopolitik, melainkan karena perasaan ditipu, ditindas, dan dikorbankan.

Namun spekulasi geopolitik berguna untuk memahami mengapa protes-protes itu terjadi dalam gelombang yang hampir bersamaan, dan mengapa ia mendapat resonansi global. Protes di satu negara, dalam dunia multipolar, bisa bergetar sampai ke negara lain. Kita hidup dalam sistem kompleks di mana lokal dan global saling bertaut, di mana kekuasaan tak lagi berdiri di satu menara tunggal, melainkan diperebutkan di banyak simpul.

Barat sedang “mengatur barisan”. AS dan Inggris mencari tahu siapa yang masuk kelompoknya dan siapa yang akan berseberangan. Ukraina dijadikan garis pertahanan melawan Rusia. Israel dijadikan tiang penyangga di Timur Tengah. Dan Nepal—meski tampak jauh dan kecil—bisa menjadi batu pengganjal bagi harmoni Sino-India.

Di sisi lain, BRICS memperluas sayap. China, Rusia, India, Brasil, Afrika Selatan, kini diperkuat Arab Saudi, UEA, Mesir, Ethiopia. Mereka menawarkan dunia yang tak lagi tunggal, dunia dengan banyak pusat. Dunia multipolar.

Indonesia berdiri di persimpangan itu. Peranan Indonesia dalam BRICS diketahui semakin signifikan. Dengan melangkah masuk ke BRICS, ia akan menggeser keseimbangan Asia Tenggara, bahkan mungkin global. Dan itu sebabnya protes di Indonesia—betapapun domestiknya—akan selalu dibaca juga dalam kacamata geopolitik. Barat khawatir.

Sejarah memberi kita pelajaran: gelombang politik jarang datang sendirian. Ia selalu membawa buih dari laut jauh. Kadang buih itu hanya hiasan, kadang ia berubah jadi arus deras yang menyeret perahu. Protes di Nepal dan Indonesia adalah bukti bahwa politik domestik dan geopolitik tak pernah benar-benar bisa dipisahkan. Ada frustrasi nyata di dalam negeri, tapi ada pula bayangan multipolarisme yang mempercepat gejolak itu.

Dan mungkin inilah tragedi sekaligus ironi: rakyat berjuang melawan ketidakadilan di dalam negeri, sementara kekuatan global memperlakukan perjuangan itu sebagai bidak di papan catur yang lebih besar.

Tapi multipolarisme, cepat atau lambat, akan datang juga. Seperti fajar yang tak bisa ditunda. Barat tahu itu. Karena itu mereka terburu-buru menyiapkan barisan. Dan karena itu pula kita mesti waspada: jangan sampai protes rakyat yang tulus, yang lahir dari luka dan harapan, dirampas oleh permainan kekuasaan yang tak pernah mengenal wajah manusia.===

Cimahi, 12September2025

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
HUT R1 2025 AHMAD NAJIB
advertisement
HUT RI 2025 M HEKAL
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
HUT RI 2025 SOKSI
advertisement