Nepal belakangan ini menjadi sorotan dunia karena gelombang protes yang digerakkan generasi muda, utamanya Generasi Z (Gen Z), yang berhasil menumbangkan pemerintahan yang korup. Ada yang menyederhanakan bahwa revolusi di Nepal terjadi karena diblokirnya media sosial (medsos) oleh Pemerintah. Ternyata bukan itu penyebabnya. Akar dari protes besar, yang akhirnya membuat pemerintahan di Nepal terguling, adalah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang sudah cukup lama menggerogoti kehidupan rakyat.
Korupsi di Nepal sendiri bukan fenomena baru. Nepotisme, penggelapan dana publik, dan penyalahgunaan kekuasaan telah menjadi "bagian" dari kehidupan sehari-hari. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index (CPI) 2024, yang dirilis oleh Transparency International, Nepal memperoleh skor 34 dari 100. Ini menempatkan Nepal di peringkat 107 dari 180 negara.
Seperti halnya di negara-negara yang masih mengalami tingkat korupsi yang tinggi, fenomena korupsi di Nepal juga "menggelikan". Korupsi di Nepal hampir selalu melibatkan penjabat dan politisi, berkolusi dengan jaringan birokrat dan pengusaha. Misalnya, Madhav Kumar Nepal (mantan Perdana Menteri Nepal 2009-2011) terlibat dalam berbagai skandal alokasi lahan yang menguntungkan kroninya. Contoh lain adalah Mohan Bahadur Basnet (Menteri Informasi dan Komunikasi 2017–2018 dan Menteri Kesehatan 2023–2024), yang terlibat korupsi pengadaan alat telekomunikasi. Korupsi di Nepal juga banyak ditemukan di tingkat kota/kabupaten.
Berbagai kajian menunjukkan hubungan yang erat antara korupsi dengan kemiskinan dan pengangguran serta berbagai kemunduran sosial ekonomi lainnya. Dana publik yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan sektor produktif malah diselewengkan melalui suap, penggelapan, atau proyek fiktif. Korupsi juga menciptakan ketidakpastian hukum dan biaya tambahan tinggi untuk investasi. Akibatnya, perusahaan enggan berinvestasi, sektor formal tidak berkembang, dan lapangan pekerjaan berkurang. Masih banyak lagi dampak buruk dari praktik-praktik KKN.
Kembali ke Nepal, bagaimana dengan tingkat kemiskinan, kesenjangan, dan pengangguran di negara ini? Nepal Living Standard Survey IV (NLSS-IV), yang dirilis pada Juni 2024, memperlihatkan bahwa sekitar 20,27 persen dari populasi Nepal hidup di bawah garis kemiskinan nasional. Sejalan dengan itu, Human Development Report 2024 dari United Nations Development Programme (UNDP) menunjukkan bahwa 20,1 persen penduduk Nepal mengalami kemiskinan multidimensional dalam aspek pendidikan, kesehatan, dan standar hidup. Ketimpangan pendapatan juga tergolong tinggi. Sekitar 10 persen orang terkaya di Nepal memiliki pendapatan lebih dari tiga kali lipat dibandingkan 40 persen orang termiskin.
Terkait generasi muda, hasil sensus Nepal 2021 menunjukkan sekitar 28,3 persen dari total populasi Nepal berusia di bawah 30 tahun. Ironisnya, tingkat pengangguran di kalangan muda juga sangat tinggi. Menurut data 2024, tingkat pengangguran generasi muda sebanyak 20,82 persen.
Bagaimana halnya penggunaan medsos, yang dipandang sangat signifikan dan memainkan peran penting dalam perubahan politik terkini di negara tersebut? DataReportal Maret 2025 memperlihatkan bahwa Nepal memiliki sekitar 14,3 juta pengguna medsos aktif di awal 2025. Jumlah ini mencakup hampir setengah dari total populasi negara tersebut. Sementara kelompok usia 16–24 tahun, yang sebagian besar merupakan Gen Z, menyumbang sekitar 55 persen dari pengguna medsos di sana.
Ketika menghadapi KKN yang berlarut-larut, anak-anak muda Nepal mengoptimalkan penggunaan medsos sebagai sarana menyuarakan kritik dan mengedukasi publik. Bagi kaum muda, ternyata korupsi tidak hanya masalah sekarang, tapi juga masalah mendatang. Anak-anak muda makin menyadari bahwa sistem yang korup bukan hanya merugikan secara sosial, ekonomi, dan lain-lain di masa sekarang. Korupsi juga meremukkan masa depan mereka. Korupsi tidak hanya menciptakan kesenjangan sosial dan kemiskinan struktural, tetapi juga akan meminggirkan masa depan sebagian besar rakyat. Anak-anak politisi, yang sekarang hidup mewah, akan bisa terus hidup dalam kemewahan, sementara masa depan kaum marginal dan kelas menengah bawah menjadi tidak jelas. Di sinilah kelompok muda Nepal mengunakan medsos untuk menyuarakan kritik serta meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kondisi negara mereka. Medsos pun digunakan untuk perubahan.
Dari beberapa catatan dan data yang dihimpun dari berbagai media, terlihat bahwa penggunaan medsos untuk aktivisme sosial politik di Nepal paling tidak dimulai sejak 2018–2019, di mana pengguna muda mulai menggunakan Facebook dan Twitter untuk menyoroti kasus korupsi pemerintah dan penyalahgunaan kekuasaan. Lalu sejak 2020, banyak anak muda menggunakan Instagram dan TikTok untuk membahas isu-isu sosial politik. Di tahun itu mulai banyak video satir dan meme yang mengkritik kelakuan penjabat publik dan politisi.
Kemudian tahun 2021 muncul Gerakan #NepoKids. NepoKids sendiri merupakan istilah yang ditujukan kepada anak-anak elite, politisi, dan penjabat, yang secara struktural diuntungkan karena praktik nepotisme dan korupsi. Melalui platform seperti TikTok, Instagram, dan Twitter (sekarang X), generasi muda Nepal yang kritis meluncurkan tagar tersebut untuk menyoroti kelakuan dan kemewahan yang dipertontonkan NepoKids. Patut dicatat bahwa beberapa pekan sebelum terjadinya tsunami politik di Nepal, The New York Times mencatat banjirnya tagar#nepokidsdi medsos Nepal.
Dalam tahun-tahun terakhir, ternyata juga terjadi konsolidasi aktivisme di medsos. Kelompok-kelompok online mulai menyelenggarakan diskusi-diskusi kritis digital di platform-platform, seperti Discord dan Telegram. Komunitas-komunitas online ini, selain bergerak mengadvokasi isu-isu sosial politik, juga dinilai telah melahirkan dan memperkuat kepemimpinan digital. Video, infografik, dan konten interaktif makin sering digunakan untuk mengedukasi masyarakat dan memobilisasi dukungan.
Pemerintah Nepal akhirnya melarang penggunaan 26 medsos pada 4 September 2025 dengan alasan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut gagal mendaftar sesuai peraturan baru pemerintah. Namun, "pembungkaman" ini justru mendulang gerakan massa yang tak terbendung, yang sebelumnya sudah terbangun cukup lama berkat optimalisasi penggunaan medsos oleh orang-orang muda Nepal. Pemerintah Nepal akhirnya jatuh dengan cara yang menyakitkan dan sangat tidak terhormat pada 6 September 2025; Hanya dalam waktu dua hari sesudah pemblokiran medsos dilakukan.
Pada 12 September 2025 Nepal memilih Perdana Menteri (PM) sementara Nepal, Sushila Karki. Karki merupakan PM perempuan pertama dalam sejarah Nepal. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung Nepal. Perempuan ini dikenal luas karena sikapnya yang tegas dalam memberantas korupsi serta independensinya dalam menjalankan tugas.
Yang menarik, ternyata Kurki adalah sosok yang banyak mendapat dukungan generasi muda di medsos. Ketika Pemerintah Nepal memberlakukan larangan medsos di awal September 2025, banyak pengguna medsos beralih ke aplikasi komunikasi, seperti Discord, untuk menyuarakan ketidakpuasan dan berdiskusi mengenai calon pemimpin interim di Nepal. Lebih dari 145.000 orang bergabung dalam Discord tersebut. Melalui serangkaian diskusi, mereka ternyata sangat berharap bahwa Sushila Karki bisa memimpin Nepal untuk membawa negeri ini ke perubahan yang lebih adil dan sejahtera.
Belajar dari kasus Nepal kita bisa melihat bahwa praktik KKN yang berdampak pada ketidakadilan, kemiskinan, dan sebagainya, pasti akan selalu mendapat perlawanan, terutama dari kaum muda yang menjadi pemilik masa depan suatu bangsa. Selain itu, anak-anak muda Nepal juga telah menunjukkan bahwa kaum muda mampu menjungkirbalikkan suatu pemerintahan yang korup dengan cara mereka sendiri, yakni melalui kelola medsos yang efektif.
13September2025
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #