Oleh Sahlan Ake pada hari Selasa, 04 Nov 2025 - 08:09:56 WIB
Bagikan Berita ini :

Akademisi: Proyek Jalan Trans Halmahera Menguntungkan Perusahaan Tambang, Bukan Rakyat

tscom_news_photo_1762218596.jpg
Jalan trans Halmahera (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Akademisi Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, Astuti N Kilwouw menilai proyek pembangunan Jalan Trans Halmahera bukan ditujukan untuk kepentingan rakyat, melainkan mempercepat konektivitas industri tambang di Pulau Halmahera, Maluku Utara.

Menurut dia, proyek Jalan Trans Halmahera diklaim sebagai upaya mempercepat konektivitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, tapi dari kaca mata ekonomi makro arah pembangunannya justru berpihak pada kepentingan industri.

“Selama ini tolak ukur pertumbuhan ekonomi masih dilihat dari seberapa banyak industri berdiri dan menyerap tenaga kerja. Pada kenyataannya, jalan Trans Halmahera yang dibangun tidak diproyeksikan untuk memudahkan aktivitas masyarakat seperti distribusi hasil pertanian, perkebunan, atau komoditas lokal seperti pala, cengkeh, dan kopra,” ujar Astuti kepada wartawan Selasa, 4 November 2025.

Astuti mengatakan pembangunan infrastruktur di Maluku Utara baik jalan, pelabuhan, maupun bandara lebih ditujukan untuk menghubungkan kawasan industri tambang nikel yang tersebar di berbagai wilayah Halmahera.

Salah satunya kawasan Halmahera Timur yang diproyeksikan menjadi pusat hilirisasi nikel nasional, karena akan dibangun pabrik pengolahan baterai berbasis hasil smelter nikel mentah dari Halmahera Tengah, Timur, dan Selatan.

“Pembangunan jalan memang mempercepat pertumbuhan ekonomi, tapi untuk kepentingan industri, kepentingan modal, dan korporasi. Ini proyek ambisius yang lebih mencerminkan politik oligarki tambang di Maluku Utara, bukan kepentingan rakyat,” tegas Manajer Program WALHI Maluku Utara ini.

Selain itu, Astuti menyebut penggunaan dana publik untuk membangun infrastruktur justru dimanfaatkan perusahaan tambang. Misal, kata dia, ruas jalan lintas provinsi di Halmahera Tengah yang dibangun menggunakan pajak rakyat, namun menjadi jalur utama kendaraan berat milik perusahaan tambang.

“Itu jalan negara, dibangun dari pajak rakyat, tapi justru dipakai oleh truk-truk industri nikel. Akibatnya, jalan rusak parah, padahal seharusnya diperuntukkan bagi kendaraan umum dan masyarakat,” jelasnya.

Jika pemerintah serius membangun jalan untuk rakyat, tegas dia, maka jalur tersebut harus steril dari kendaraan berat. “Kalau perusahaan mau lewat, bangun jalan sendiri. Jangan gunakan pajak rakyat untuk memudahkan mobilitas industri tambang,” katanya.

Padahal, kata dia, masyarakat telah memberikan tanahnya secara cuma-cuma kepada negara demi proyek jalan, tapi ternyata hanya menguntungkan perusahaan.

“Tanah itu di atasnya ada pala, cengkeh, kelapa berusia puluhan tahun diserahkan warga demi akses mereka sendiri. Tapi yang menikmati justru korporasi. Setelah tambang lewat, jalan rusak, dan rakyat tidak dapat apa-apa,” ungkapnya.

Ia membeberkan dampak aktivitas tambang terhadap sumber pangan dan ekosistem di Halmahera. Contohnya di kawasan Wasile, Halmahera Timur, yang dikenal sebagai lumbung padi Maluku Utara, lahan sawahnya terancam akibat dugaan pencemaran irigasi oleh aktivitas tambang.

“Air irigasi tercemar, sawah-sawah rusak, padahal itu sumber pangan masyarakat. Jadi apa lagi yang mau didorong lewat jalan itu kalau hasil produksinya sendiri dirusak?” katanya.

Selain sawah, lanjut dia, banyak pohon sagu di wilayah Halmahera hilang akibat ekspansi tambang dan pencemaran sumber air. “Padahal, sagu itu bagian dari identitas pangan lokal. Sekarang banyak yang sudah tidak layak konsumsi karena air dan tanahnya tercemar,” ujarnya.

Karena itu, Astuti mendesak pemerintah pusat dan DPR RI untuk mendorong moratorium, bahkan penutupan terhadap perusahaan tambang bermasalah di Provinsi Maluku Utara. Menurutnya, pemerintah dalam memberikan izin-izin tambang tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan di pulau-pulau kecil seperti Halmahera.

“Jadi sebelum bicara jalan baru, pemerintah seharusnya berani hentikan dulu aktivitas tambang yang bermasalah. Kalau tidak, pembangunan infrastruktur apa pun akan terus jadi alat legitimasi bagi ekspansi industri ekstraktif,” pungkasnya.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement