Oleh Sahlan Ake pada hari Rabu, 03 Des 2025 - 15:55:53 WIB
Bagikan Berita ini :

AMMI: Kasus Ira Purbadewi berpotensi terjadi pelanggaran HAM oleh aparat hukum

tscom_news_photo_1764752153.jpg
Ali Yusuf, advokat pendiri AMMI dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (3/12/2025).  (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Terobosan hukum memasuki tahun kedua pemerintahan Presiden Prabowo, dalam memberikan rehabilitasi tiga pejabat BUMN, Ira Puspadewi dkk, yang dihukum 4,5 tahun dan 4 tahun akibat didakwa korupsi di PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), berbuntut sorotan pelanggaran HAM.

Advokat Muda Muslim Indonesia (AMMI) meminta aparat penegak hukum untuk tidak menganggap "enteng" (ringan) atau remeh masalah rehabilitasi Ira dkk. Sepatutnya menjadikan keputusan presiden itu sebagai "warning" untuk introspeksi mendalam terkait pelanggaran HAM.

"Terobosan Presiden Prabowo ini "warning" keras agar fenomena kasus-kasus seperti Ira dan kawan kawan (dkk) tidak terus terulang. Karena tidak hanya menghambat target pertumbuhan ekonomi delapan persen yang dijanjikan Presiden. Namun, juga berpotensi terjadi pelanggaran HAM," kata Ali Yusuf, advokat pendiri AMMI dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (3/12/2025).

AMMI memperingatkan, penerapan Undang Undang Nomer 31 Tahun 1999 tentang Pembrantasan Tidak Pidana Korupsi (Tipikor) jika tidak dilakukan dengan kehati-hatian dan mengedepankan profesionalisme, akan berpotensi dimanfaatkan kepentingan tertentu terkait kriminalisasi.

Soal rawan pelanggaran HAM, kata Ali, bukan hanya oleh penyidik atau elite Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tapi, juga aparat penegak hukum yang lain seperti Kejaksaan RI, Polri, maupun para hakim. Karena Undang Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) secara tegas mengatur tentang bidang bidang HAM tersebut.

"Warning itu termasuk terhadap para praktisi hukum, yaitu advokat yang biasa mengawal kasus-kasus dugaan korupsi baik saat masih penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga proses peradilan," imbuh Ali.

Ali juga mengingatkan, siapa pun profesional atau pejabat yang diadili terkait kebijakan korporasi seperti Ira dkk maupun Mantan Menteri Tom Lembang untuk kebijakan publik dengan tuduhan korupsi atas dasar subyektifitas penegak hukum, dipastikan tidak hanya membuat korban dan keluarganya menderita seumur hidup.

"Tidak mudah memulihkan dampak kerugian material maupun imaterial yang ditanggung korban maupun keluarganya. Tragis lagi, karier potensial korban seolah dibunuh. Negara juga merugi, karena korban sebagai aset SDM profesional unggulan yang diharapkan dapat berkontribusi dalam pembangunan, justru dilenyapkan," tegas Ali.

AMMI, kata Ali, cukup heran mencermati pernyataan KPK yang bertentangan dengan pernyataan BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan), pasca Presiden mengumumkan merehabilitasi nama baik Ira Purbadewi dkk. Bersangkutan juga terlanjur dipecat sebagai Direktur Utama PT ASDP, termasuk nasib dua direksi lainnya.

"Aneh, KPK berdalih mengusut dugaan korupsi Ira dkk, karena menerima hasil audit BPKP. Sebaliknya, BPKP membantah mengaudit dugaan korupsi tersebut. Bahkan, BPKP mengklaim hanya me-review terkait akuisisi ASDP. Kalau bantahan BPKP benar, maka Ira dkk ditahan dan didakwa korupsi oleh hasil persepsi penyidik yang identik abai prinsip prinsip HAM," tegas Ali, mengritisi.

Sebelumnya, Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, mengatakan bahwa pengusutan kasus korupsi akuisisi ASDP bermula dari hasil audit BPKP. Hasil audit ini diberikan ke KPK untuk analisis dugaan korupsi dalam proses akuisisi PT Jembatan Nusantara pada 2021.

"Berbekal dari adanya hasil audit itu, kami lakukan pendalaman penyidikan, seperti itu," kata Asep Guntur Rahayu di gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada 24 November 2025.

BPKP lewat juru bicaranya, Gunawan Wibisono membantah bahwa BPKP tidak pernah melaporkan dugaan korupsi akuisisi ASDP ke KPK. Tapi, hanya memberikan hasil review aksi korporasi ASDP dalam akuisisi PT Jembatan Nusantara pada 2021.

"Hasil review tersebut disampaikan kepada ASDP selaku entitas yang meminta review dari BPKP pada tahun 2022 sebagai bahan melakukan perbaikan atau penguatan Governance, Risk and Control (GRC) dalam proses akuisisi," ujar Gunawan Wibisono, Jumat, 28 November 2025.

Gunawan mengakui KPK pernah minta BPKP menghitung kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi ASDP pada 2024. Selanjutnya, komisi antirasuah itu memilih menghitung soal kerugian keuangan negara melalui tim akuntan forensik internal KPK.

"Penentuan unsur kerugian negara yang dilakukan oleh tim akuntan forensic internal KPK berpotensi penyalahgunaan wewenang (<em>abuse of power</em>)," tegas Ali, yang pernah menjadi kuasa hukum pejabat Kemenkes saat ditahan KPK, sebagai tersangka juru bayar perkara korupsi mark up harga alat pelindung diri (APD) Covid-19.

"ABUSOF POWER LANGGAR HAM"

Menurut Ali, "abuse of power" lembaga hukum superbody ini sangat berpotensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap warga negara yang ditahan dan diajukan ke pengadilan Tipikor. Khususnya, tuduhan tindak pidana korupsi yang tanpa unsur audit kerugian negara yang dapat dipertanggungjawabkan secara obyektif dan profesional.

Hal tersebut, kata Ali, seperti yang didakwakan terhadap Ira dkk telah merugikan negara Rp1,2 triliun. Fakta persidangan, Ira meyakinkan bahwa akuisisi tersebut justru menguntungkan negara, karena mendapatkan 53 kapal dengan izin operasi. Bahkan, Ira dan dua terdakwa lainnya tidak ditemukan bukti menerima uang dari hasil akuisisi.

"Kasus Ira dkk ini dalam kajian AMMI, mengingatkan nasib naas yang juga menimpa pejabat BUMN lainnya seperti Mantan Direktur Utama PLN Batubara Khairil Wahyuni. Tragis lagi, pejabat BUMN itu terlanjur dijebloskan ke penjara dua tahun, setelah vonisnya inkrah di Mahkamah Agung," ungkap Ali.

Menurut Ali, fakta persidangan terungkap Khairil ditahan penyidik di jajaran Kejaksaan Agung hanya didasarkan hasil laporan subyektif pihak-pihak di Satuan Pengawasan Internal (SPI) PT PLN (Persero). Padahal, lembaga independen eksternal seperti Delloitte dan Price Water House Covers ((WC) sudah melakukan audit baik audit kepatuhan, kinerja maupun keuangan, dan hasilnya menyimpulkan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

"Proses audit tersebut, termasuk mengaudit kerjasama proyek pemasok batubara antara PLN Batubara dengan PT TME yang jadi obyek perkara korupsi yang didakwakan kepada Khairil Wahyuni," ungkap Ali.

Dalam fakta persidangan, justru terungkap kerjasama itu diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dengan rekomendasi proyek dilanjutkan, karena pasarnya jelas dan berpotensi menguntungkan negara. Namun, Direksi PT PLN (Persero) sebagai induk PLN Batubara tidak melanjutkan. Jajaran direksi yang kontra Khairil justru menyerahkan ke Kejaksaan Agung untuk diproses dan ditahan serta dijerat pidana Undang Undang Nomer 31 tahun 1999 tentang Tipikor.

"Penyelesaian kasus Tipikor yang didasarkan pada hasil laporan internal itu sangat rawan dimanfaatkan orang-orang yang memperalat aparat penegak hukum untuk menjegal orang lain. Apalagi, jika ada persaingan jabatan tertentu di BUMN. Termasuk, yang bermuatan politik seperti kasus Tom Lembong," ungkap Ali.

Ali mengritisi kebiasaan jaksa penyidik mengambil laporan internal BUMN atau instansi tertentu dalam mengusut dugaan korupsi. Termasuk, menggunakan lembaga audit yang diperintah atau dikendalikan jaksa penyidik untuk menghitung kerugian negara tersebut.

"Lembaga audit tersebut berpotensi hanya dipakai jadi "stempel" atas kerugian negara yang diinginkan jaksa. Sehingga, tidak ada unsur obyektifitas dan independensi dalam penentuan kerugian negara. Akibatnya, pejabat BUMN dalam memutuskan bisnis yang tadinya wajar, berubah jadi indikasi pidana," ungkap Ali, lagi.

Dengan skema seperti itu, lanjut Ali, hakim tinggal menerapkan pasal yang didakwakan JPU (Jaksa Penuntut Umum) kepada terdakwa. Sehingga, masalah bergeser dari hanya persoalan teknis menjadi masalah struktual yang membahayakan perekonomian negara.

"Business judgment rule yang seharusnya dapat melindungi direksi atau pejabat BUMN dari tuntutan baik perdata maupun pidana, akhirnya tidak dapat diterapkan. Ini akibat lembaga penuntutan yang ‘super body” dalam menghitung kerugian negara berdasarkan lembaga audit yang sudah dikendalikan," tandas Ali.

Di sini, lanjut Ali, berpotensi membuka pintu kriminalisasi atau tindakan pilih kasih dalam penerapan UU No 31 tahun 1999.

Jika tidak ada yang berani mencegah penyimpangan itu, kata Ali, sangat mungkin berdampak menghambat pertumbuhan ekonomi delapan persen yang ditargetkan Pemerintahan Prabowo-Gibran. Bahkan, juga berpotensi terjadi pembiaran pelanggaran HAM oleh aparat penegak hukum.

"Pelaku usaha dan pejabat BUMN atau pemerintah yang berintegritas akan dibayangi ketakutan yang dibuat oleh negara sendiri melalui aparat penegak hukumnya," kritik Ali.

Ali berharap rehabilitasi dari presiden itu juga dijadikan momen koreksi kinerja penegak hukum di Indonesia, agar tidak bertindak semau-maunya dalam menerapkan UU No 31 tahun 1999. Terkecuali, yang dijadikan tersangka kasus Tipikor terdapat dua alat bukti actus reus (perbuatan terlarang) dan <em>mens rea</em> (niat jahat atau kesengajaan).

"Kasus-kasus yang mencuat ke permukaan seperti Ira dkk dan Khairil, bahkan juga Tim Lembong jangan dibiarkan terulang. Semua pihak harus kritis. Terkecuali, tuduhan kerugiaan negara bersumber hasil audit lembaga profesional atau instansi yang berkompeten dan tidak bertentangan dengan konstitusi," kata Ali.

AMMI, menurut Ali, sangat prihatin jika hak-hak pemulihan korban pelanggaran HAM oleh aparat penegak hukum, seolah terabaikan dan tidak menjadi perhatian masyarakat.

"AMMI khawatir jika hak-hak korban tidak dianggap penting menjadi diskursus, maka berdampak <em>"embuse of power" </em>aparat penegak hukum dalam menerapkan perundang-undangan anti korupsi menjadi semakin tidak terkontrol dan sarat kepentingan. Korban pelanggaran HAM terhadap asset SDM unggulan nasional akan terus terjadi," pungkas Ali.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement