
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Rais Syuriyah PWNU Lampung, KH Shadiqul Amin menegaskan Rais Aam dalam struktur jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) menempati posisi tertinggi sebagai pemimpin tertinggi organisasi yang memiliki kewenangan moral, keulamaan, dan kebijakan strategis dalam menjaga arah perjuangan NU.
Menurut dia, NU dibangun di atas tradisi keilmuan, adab, dan kepemimpinan yang berakar kuat pada nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah. Prinsip ini menjadi landasan penting dalam menjaga persatuan dan kesinambungan khittah NU di seluruh tingkatan kepengurusan.
Kata dia, kepatuhan kepada Rais Aam bukan sekadar kepatuhan administratif atau formalitas struktural, tetapi kepatuhan pada Rais Aam fondasi kesinambungan khittah.
“Ketaatan ini merupakan wujud adab jam’iyah yang telah diwariskan oleh para masyayikh NU sejak awal berdirinya organisasi," kata Kiai Shadiqul Amin melalui keterangan tertulisnya pada Minggu (14/12/2025).
Dalam tradisi NU, ia menjelaskan hubungan antara Rais Aam dan seluruh jajaran syuriyah di daerah dibangun atas dasar ta’zim kepada ulama, penghormatan terhadap sanad keilmuan, serta komitmen untuk menjaga kemaslahatan umat.
“Rais Aam adalah simbol pemersatu warga NU di tengah beragam pandangan dan dinamika yang muncul dalam organisasi,” jelas dia.
Oleh karena itu, Shadiqul Amin mengingatkan bahwa setiap perbedaan pendapat seharusnya disikapi dengan kepala dingin melalui mekanisme musyawarah, serta tetap berada dalam koridor kepemimpinan yang sah.
“Sikap ini menjadi kunci agar NU tetap kokoh sebagai jam’iyah diniyah ijtima’iyah yang berkhidmat untuk agama, bangsa, dan negara," ujarnya.
Selanjutnya, Shadiqul Amin menambahkan kepatuhan kepada Rais Aam merupakan bagian dari tanggung jawab moral Pengurus NU di semua tingkatan. Menurutnya, menjaga kepatuhan kepada Rais Aam berarti menjaga kesinambungan perjuangan NU sebagaimana diwariskan para pendiri.
“Kepatuhan ini tidak menutup ruang kritik dan dialog, namun harus dilandasi niat menjaga persatuan, bukan mempertajam perbedaan,” ungkapnya.
Memang, kata dia, dinamika dalam organisasi adalah keniscayaan, tetapi persatuan dan marwah jam’iyah harus selalu ditempatkan di atas kepentingan kelompok atau pribadi.
Dengan demikian, ia mengajak seluruh warga NU terutama di Lampung untuk kembali memperkuat nilai-nilai dasar NU di tengah berbagai dinamika yang berkembang, yakni tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran), dan i’tidal (tegak lurus).
“Nilai-nilai ini hanya dapat dijaga dengan sikap patuh pada kepemimpinan tertinggi organisasi, dan kesediaan untuk menahan diri dari sikap yang berpotensi memecah belah ukhuwah nahdliyah,” imbuhnya.
Dengan berpegang teguh pada prinsip tersebut, lanjut dia, NU diyakini akan tetap menjadi rumah besar yang teduh bagi seluruh warganya.
“Serta terus berperan aktif dalam merawat persatuan umat dan keutuhan bangsa Indonesia,” kata Shadiqul Amin.
Sementara itu, Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon, KH Imam Jazuli pernah menyampaikan bahwa sejak awal NU dirancang sebagai jam"iyah ulama yang menjunjung tinggi kepemimpinan keilmuan, bukan sekadar struktur administratif.
“NU bukan organisasi manajerial seperti korporasi. NU adalah jam"iyah ulama yang kepemimpinannya dipimpin oleh Syuriyah dan Rais Aam. Di situlah letak marwah dan otoritas tertinggi organisasi," ujarnya.
Menurut dia, solusi atas dinamika internal PBNU adalah dengan kembali tegak lurus bersama Syuriyah dan Rais Aam. Kata dia, mayoritas Nahdliyin memiliki kesadaran tinggi bahwa keputusan Syuriyah adalah keputusan tertinggi dalam hierarki organisasi.
"Menegakkan supremasi Syuriyah berarti menegakkan khittah NU. Karena itu, semua pihak harus menghormati dan taat atas keputusan Rais Aam. Mengabaikan keputusan Syuriyah, sama artinya dengan mengabaikan ushul organisasi itu sendiri,” pungkasnya.