JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Pemerintah perlu melakukan langkah strategis dalam mengatasi lemahnya ekonomi nasional. Karena itu, pemerintah mesti mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Pengamat ekonomi hukum Yustinus Prastowo berpendapat, seyogyanya kejaksaan menunjukkan perannya dalam membantu memaksimalkan PNBP. Tetapi, kata dia, pengelolaan administrasi sektor PNBP di era kepemimpinan presiden Joko Widodo terkesan lamban.
"Adanya paradigma PNBP hanya dipakai untuk membiayai kegiatan kementerian atau lembaga terkait, bukan menunjang penerimaan negara. Jadi dari sisi pemungutan dan pemanfaatan belum tepat," ujar Yustinus kepada wartawan di Jakarta, Senin (28/9/2015).
Seharusnya, lanjut dia, Jaksa Agung HM Prasetyo lebih gencar melakukan eksekusi putusan hakim dan perampasan aset pelaku kejahatan. Sehingga, PNBP dari kejaksaan akan semakin meningkat.
"Namun baik perencanaan, transparansi serta akuntabilitas kejaksaan era Jokowi saat ini sangat kurang," tuturnya.
HM Prasetyo, sebut Yustinus, mesti meniru gebrakan mantan Jaksa Agung Basrief Arief yang mengoptimalkan PNBP melalui eksekusi pidana denda Asian Agri Rp 2,5 triliun di tahun 2014.
"Uang triliunan tersebut sudah masuk kas negara. Prestasi kejaksaan saat itu meningkat tajam. Jika semester I tahun ini hanya Rp 41 miliar, wah itu kecil sekali. Butuh keseriusan dan perbaikan administrasi," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Centre For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menilai, minimnya perolehan PNBP kejaksaan pada semester I tahun 2015 dikarenakan faktor kepemimpinan yang terjadi pada seluruh struktur di kejaksaan.
"Saya kira ini persoalan minimnya perolehan PNBP ini terletak pada pimpinan kejaksaan. Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda Pembinaan (Jambin) harus bertanggungjawab atas merosotnya penerimaan PNBP," papar Uchok.
Disebutkannya, PNBP kejaksaan dibawah kepemimpinan Jaksa Agung HM Prasetyo dalam semester I tahun 2015 hanya mampu mendapatkan Rp 41,8 milyar saja. Jumlah tersebut jauh dari PNBP kejaksaan 2014 era Basrief Arief yang mencapai Rp 3,4 triliun.(yn)