Mengapa saya menjadi "spesialis" mengamati dan mempelajari hubungan Soekarno dan Jenderal Besar (Purn) AH Nasution tidak lain untuk membantu generasi muda memahami periode sejarah Indonesia modern.
Periode yang saya maksudkan, khususnya periode setelah Kemerdekaan 1945 sampai dengan berakhirnya kekuasaan Soekarno pertengahan dekade 1960-an. Periode dimana dua tokoh tersebut memegang peranan sentral yang cukup lama.
Disatu sisi secara kebetulan kami banyak memiliki info dan data. Sementara banyak generasi muda yang besar di era Orde Baru (32 tahun) dibutakan oleh kekuasaan rezim Orde Baru tentang dua tokoh tersebut.
Sebagaimana dapat dibaca dalam tulisan kami sebelumnya tentang pasang surut hubungan Soekarno Nasution ( lihat tulisan kami sebelumnya :
1. PERISTIWA 17 OKTOBER 1952 DAN TERSINGKIRNYA AH NASUTION
2.KESAMAAN SOEKARNO DG NASUTION THN 50AN : SAMA SAMA GERAH DG DEMOKRASI LIBERAL
3.KESEMPATAN NASUTION KUDETA SOEKARNO
4.PASCA DEKRIT PRESIDEN dll)
Maka tulisan singkat kali ini akan menyorot hubungan Nasution dengan Soekarno setelah Dekrit 5 Juli 1959.
Sebelum Dekrit hubungan Soekarno Nasution sangat baik. Berbulan bulan Soekarno sering ke Luar Negeri boleh dibilang Soekarno percaya penuh (full) terhadap Nasution menjaga Negara. Bahkan persiapan dan kondisioning dekrit sepenuhnya diatur oleh Nasution.
Begitulah keduanya kompak menghadapi kebuntuan politik dalam negeri khususnya karena anggota Konstituante ber larut- larut belum menyelesaikan Konstitusi pasca Pemilu 1955. Setelah Dekrit ternyata Soekarno sudah punya rencana besar lain yang tidak pernah diperkirakan oleh Nasution.
Soekarno "memanfaatkan" peranan sebagai Kepala Pemerintahan menurut UUD 1945 yang selama satu (1) dekade oleh UUDS 1950 dikebiri dan Presiden dalam sistem Parlementer cuma lambang.
Bagai orang kehausan, Soekarno memanfaatkan kekuasaan baru tersebut dalam UUD 1945. Secara nyata Soekarno memakai simbol sebagai Panglima Tertinggi ABRI, lengkap dengan pangkat dan jas dan sederet tanda penghargaan didadanya.
Sekaligus juga menjadi Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) dengan Staf Kotinya, Ahmad Yani yang berkantor di Istana Negara. Sehingga secara tidak langsung melikwidasi peranan Kantor Perdana Menteri Djuanda di Pejambon sekaligus juga melikuidasi peranan KSAD Jenderal AH Nasution. Ini sesuatu yang di luar perkiraan Nasution.
Setelah pidatonya 17 Agustus 1959 (lebih kurag sebulan setelah Dekrit) dengan judul Manifesto Politik (Manipol) Usdek (UUD45, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia) yang kemudian dilengkapi lagi dengan pidato 17 Agustus 1950 Resopim (Revolusi Sosialisme Pimpinan) maka praktis Soekarno menjelma menjadi Diktator karena setelah itu semua lembaga tinggi negara di ritul menjadi cuma menjadi Pembantu Presiden.
Dewan Pertimbangan Agung (DPA) menjadi lembaga semacam Comite Central karena diisi oleh Ketua Ketua Partai seperti DN Aidit (PKI), Idham Chalid (NU), Ali Sastroamidjojo (PNI) bahkan WKSAD Mayjen Gatot Soebroto yang tidak suka politik pun dimasukkan (mengapa bukan KSAD Nasution ?).
Pada saat membahas RAPBN 1960 tiba tiba Soekarno nimbrung (sesuatu yang tak biasa dilakukannya) dengan mengatakan bagaimana agar DPR tidak mempersulit Pemerintah.
Sehingga berkembanglah gagasan meritul anggota DPR hasil Pemilu 1955 menjadi DPR GR. Ini menimbulkan perlawanan dari berbagai tokoh dan partai. KH Bisri dari NU paling vokal, disusul Mr Sartono Ketua DPR hasil Pemilu dari PNI dll.
Namun akhirnya Soekarno dengan Penpres No 3/1960 meritul anggota DPR hasil Pemilu 1955 menjadi DPR Gotong Royong yg terutama sangat merugikan partai politik Islam.
Dengan alasan "darurat revolusioner" atau revolusi belum selesai Soekarno menjelma menjadi Pemimpin Besar Revolusi (PBR). Dan dengan itu dianggap sah melakukan penyimpangan UUD45, menghalal berbagai cara untuk mencapai tujuan revolusi.
Dalam uraian yang detil dan panjang dalam bukunya Memehuni Panggilan Tugas, Jenderal AH Nasution menyebut langkah Soekarno itu sbagai Verlinksing (bahasa Belanda yang berarti 'pengkirian').
Memang tidak dapat dipungkiri dalam periode itu Soekarno sesuai konsep NASAKOM sedang bergerak ke kiri. Dan itu diduga sebagai kesuksesan kaum komunis muda seperti DN Aidit dkk berhasil merangkul Soekarno.
Dalam berbagai episode setelah Soekarno menjelma menjadi Diktator itu terjadi friksi dengan TNI AD (terkenal peristiwa 3 Selatan), bahkan kelompok tertentu dalam AD dimotori Letkol Soekendro dan beberapa kader partai membentuk Liga Demorasi untuk melawan kediktatoran Soekarno.
Bung Hatta sendiri mengeluarkan buku berjudul Demokrasi Kita yang akhirnya dilarang.
Dalam suasana demikianlah konflik politik pasca Dekrit Presiden dimana Soekarno "melupakan" jasa Nasution yang telah berhasil mengatasi pemberontakan di Sumatera dan Sulawesi, memperlancar proses Dekrit Presiden bahkan membantu suksesnya perebutan Irian Barat kembali ke pangkuan RI.
Nasution akhirnya harus menyerahkan jabatannya ke Jenderal Ahmad Yani tahun 1962. Sedang Jenderal AH Nasution dipromosi ke "langit kosong" sebuah jabatan tanpa kewenangan berarti yaitu Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/ Kepala Staf Angkatan Bersenjata dimana Soekarno langsung Panglima Tertingginya. Dan Nasution cuma Staf-nya.
Dalam jabatan inilah dimana tidak punya kewenangan Komando dan tidak punya pasukan, Nasution menjadi salah satu target yang harus dibunuh oleh apa yang disebut sebagai Gerakan 30 September atau menurut versi Bung Karno Gerakan Satu Oktober (Gestok).
Lalu belakangan ada saja fitnah bahwa Nasution adalah pengecut mengapa tidak ambil alih kekuasaan saat Jenderal lain terbunuh. Mereka tidak faham bahwa saat itu Nasution tidak punya Komando dan Tidak punya pasukan.
Sebab yang memiliki standing order kalau Panglima TNI AD berhalangan adalah Pangkostrad yaitu Mayor Jenderal Soeharto, yang tidak masuk dalam daftar yang akan dibunuh.(*)
TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #hatta #soekarno #dekrit