JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Kepemimpinan Jokowi-JK telah memasuki satu tahun masa kerjanya. Namun, kinerja pemerintah dinilai masih jauh dari harapan demi mewujudkan perubahan ekonomi nasional sesuai Trisakti dan Nawacita.
Wakil Ketua Komisi VI DPRRI dari Fraksi Gerindra Heri Gunawan menilai, Jokowi-JK gagal dalam mengimplementasikan berbagai janjinya. Ia menyebutkan sejumlah bukti kegagalan pemerintah.
"Secara objektif, mengukur kinerja suatu pemerintahan harus didasarkan pada janji-janji kampanye sebelum terpilih. Pada konteks ini, seberapa serius pemerintahan Jokowi-Kalla mewujudkan janji-janjinya dengan "kerja... kerja... kerja" yang menjadi slogan selama ini," ujar Heri kepada TeropongSenayan di gedung DPRRI, Jakarta, Selasa (13/10/2015).
Ia menjelaskan, dalam waktu satu tahun ini, ekonomi nasional menunjukkan gejala pesimistik alias kendur. Bahkan, ketahanan ekonomi nasional juga sedang dalam tahap kritis.
"Parameternya, pertama, pertumbuhan ekonomi nasional yang terus tertekan. Dari data BPS, saat ini, ekonomi hanya tumbuh 4,67%. Dan ini adalah yang terburuk dalam 5 tahun terakhir," sebutnya.
Kedua, ungkap Heri, jumlah pengangguran di Indonesia yang semakin meningkat.
"Sesuai data BPS, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) meningkat 300 ribu orang atau naik sebesar 0,81 persen. Peningkatan pengangguran ini memperkuat indikasi bahwa ekonomi nasional sedang "sakit". Buruknya kinerja ekonomi hingga triwulan III 2015 telah berimbas kepada bertambahnya jumlah pengangguran. Padahal, jumlah orang yang butuh pekerjaan terus bertambah 3 juta orang," paparnya.
Parameter ketiga yaitu tingkat inflasi Indonesia tertinggi se-ASEAN. Ia menjabarkan bahwa berdasarkan analisis Institute for Global Justice (IGJ), laju inflasi bergeser dari proyeksi yang ditetapkan sebesar 4,4 persen.
"Bulan Mei 2015, laju inflasi mencapai 7,15 persen atau naik sebesar 2,75 persen dari target pemerintah. Saat ini, inflasi Indonesia adalah yang tertinggi se-ASEAN sebesar 6,18%," jelas Heri.
Tidak hanya di daerah perkotaan, kata dia, kenaikan inflasi itu terjadi juga di daerah pedesaan yang ditandai dengan naiknya indeks seluruh kelompok konsumsi. Kenaikan harga BBM bersubsidi menjadi komponen tertinggi penyebab inflasi tersebut.
"Di samping komponen lain seperti naiknya harga sembako: beras, bawang, dan daging. Gejala seperti ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk lebih banyak mendengar dan tidak terburu nafsu membuat kebijakan, yang ujung-ujungnya, mengorbankan rakyat kecil. Bagi nelayan, misalnya, BBM menjadi komponen terbesar aktivitas produksi. Sehingga, begitu harga BBM dinaikkan, nilai tukar nelayan langsung anjlok," ucapnya.(yn)