JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Mantan Menteri Perhubungan 1973-1978 Prof Emil Salim heran dan menyoal terhadap ngototnya Menteri BUMN Rini Soemarno melanjutkan proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung. Padahal selain tak layak proyek itu juga beresiko.
"Jika Rini (Menteri BUMN-red) sangat dekat dengan Presiden Jokowi, mengapa memaksakan proyek kereta-cepat untuk jarak pendek Jakarta-Bandung yang tak feasible ekonomi?," ujar Emil Salim dalam pesan yang diterima TeropongSenayan, Minggu (18/10/2015).
Emil Salim yang juga Guru Besar FE UI ini juga menilai Rini telah menyerobot tugas Menteri Perhubungan karena tidak menjadikan proyek tersebut sebagai prioritas. Tak hanya itu dia juga menyentil Menko Kemaritiman dan SDA Rizal Ramli diam tak berkutik.
Berikut selengkapnya pesan Emil Salim tentang hal tersebut.
Jika Rini sangat dekat dgn Jkw, mengapa:
1/ memaksakan proyek kereta-cepat utk jarak pendek Jkt-Bdg yg tak feasible ekonomi?
2/ mengapa pakai dana pinjaman China utk proyek yg TIDAK hasilkan valuta asing, ada ""mis-match" (ketidak-cocokan) dana pembiayaan antara "valuta asing dgn rupiah loan"
3/ sungguhpun pola proyek "Business-to-Business", bukankah yg terlibat business adalah Badan Usaha MILIK NEGARA", yg modalnya merupakan kejayaan-negara yg dipisahkan? Sehingga bila ada kerugian business dlm usaha kereta-cepat maka risiko budiness ditanggung BUMN yg pemegang-sahamnnya adalah Negara/Pemerintah?
4/ mengapa Menteri BUMN bisa menyingkirkan kebijakan Menteri Perhubungan yg tidak utamakan proyek kereta-cepat? Bila kemudian ada kesulitan keuangan, persaingan antar moda transportasi keteta-cepat dgn sarana angkuta kereta-api + angkutan jalan-raya sehingga secara makro merusak sistem perhubungan Jkt-Bdg, Menteri mana yg bertanggung-jawab?
5/ jika ada kecelakaan kereta-cepat Jkt-Bdg, Menteri siapa yg bertanggung-jawab?
6/ dlm alih-teknologi sistem kereta-cepat, sudahkah dikaji siapa lebih unggul dijadikan sistem kereta-cepat nasional kelak (Jkt-Semarang-Surabaya dll) antara China dan Jepang serta negara2 lain. Apakah kewajiban transfer teknologi ke fihak Indonesia masuk menjadi "keharusan" dlm deal dgn Chiba ini?
7/ sudahkah diperhitungkan dampak geo-politik pilihan China ketimbang Jepang dlm perkembangan politik pembangunan Indonesia dlm perkembangan global masa depan?
8/ bagaimana Menteri BUMN bisa melakukan semua ini "single handedly", kekuatan politik manakah mendukungnya dan dgn manfaat-rugi bagi negara yg bagaimana?
9/ lalu mengapa memperbesar dana pinjaman valuta asing sampai US$ 6 billion dlm kondisi neraca pembayaran kita yg rawan sekarang ini dan membuat kabinet Jkw hadapi risiko "confidence" dunia usaha nasional dan internasional yg goyah? Apakah "debt-servica ratio RI" tak terganggu?
10/ Jikapun debt-service ratio dianggap "aman" karena "pinjamannya berjangka panjang" apakah sifat "tight loan" (hutang mengikat utk dipakai bagi pembelian produk pemberi pinjaman yaki China) tidak menjadikan "hutang jangka panjang" ini berbiaya tinggi (costly). Bisakah hutang jangka panjang China dipakai utk pembeliah "off-shore China" (di luar China) utk memungkinkan ppersaingan harga seperti yg diberlakukan pinjaman jangka panjang Bank Dunia?
Apakah semua ini ada diperhitungkan jika "Rini sangat dekat dgn Jkw"? Mengapa Menko RR berdiam-diri dlm hal ini?
Salam,
Emil Salim
(Mantan Menteri Perhubungan 1973-1978)
(ris)