YAPHANK, LONG ISLAND (TEROPONGSENAYAN) - Berpuluh tahun setelah kejatuhan Hitler, orang-orang Nazi masih saja merusak keinginan warga Long Island yang ingin menjual rumah mereka.
Contohnya seperti Philip Kneer dan Patricia FLynn-Kneer yang tinggal di sebuah kota kecil di Long Island, Yaphank, dimana pada tahun 1930an terdapat sebuah kamp musim panas Nazi yang bernama Camp Siegfried. Pada perkemahan yang dilakukan pada musim panas, anak-anak diajarkan beberapa skil seperti berkemah, berburu dan egenetika - sebuah ide bahwa pembiakan dan sterilisasi dapat menciptakan komunitas murni. Pada kamp ini, di masa lalu, juga ditemukan orang-orang dewasa asik minum bir sambil bicara politik.
Kesenangan ini kemudian berakhir saat Perang Dunia II. Setelah perang, FBI menyita properti kamp. Sementara pemilik lahan, the German American Settlement League, berhasil mendapatkan kembali lahan mereka. Menurut New York Times, lahan tersebut kemudian dijual dan anggota liga dapat membeli serta membangun rumah di atasnya.
Namun kemudian muncul masalah dari komunitas ini. Sebuah klausul dalam peraturan mereka mengatakan pemilik rumah diutamakan "keturunan Jerman". Peraturan tersebut, kata Times, telah menjadikan hampir seluruh anggotanya "berkulit putih". Sementara, menurut Kneer, keberadaan warga kulit hitam akan dibuat seperti merasa tak diinginkan.
Keluarga Kneer merupakan keturunan Jerman, dan salah satu dari 45 keluarga di komunitas ini. Keluarga ini telah berupaya untuk menjual rumah mereka. Namun, mereka mengaku liga telah mencegah warga untuk mengiklankan penjualan rumah mereka. Bahkan, menurut Times, tanda "dijual" pun dilarang untuk dipasang.
"Anda merasa seperti binatang yang terkurung di sini. Ini mengerikan bagi semua orang. Bagi anak-anak, bagi kami dan bahkan bagi anjing kami," kata Philip Kneer.
Namun, menurut para sesepuh, mereka mengaku setuju untuk mengubah aturan 'kuno' yang melarang non-Jerman tinggal di sana. Sementara, pasangan orang tua yang telah menganggap pasangan Kneer sudah seperti cucu mereka, mengaku bingung kepada pasangan Kneer yang kata mereka telah meninggalkan Yaphank, tapi kembali lagi hanya untuk mengajukan gugatan pada pengadilan. Pasangan Kneer ini mengajukan gugatan yang menyebutkan bahwa praktik perumahan liga telah mencederai Fair Housing Act.
Namun, para sesepuh tersebut membantah tuduhan Kneer.
"Orang-orang di kota lain melihat kami dan berpikir bahwa kota kami tertutup bagi non-Jerman. Itu tidak benar," pungkas para sesepuh. (mnx/Esqr)