JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Beberapa tahun tekahir, diskursus tentang 'Bonus Demografi' dalam negeri mengalami pasang-surut.
Tak sedikit elite politik pemerintah yang gembar-gembor mengungkapkan optimismenya akan masa depan Indonesia yang lebih baik, mengingat rendahnya rasio ketergantungan akibat besarnya jumlah angkatan kerja yang kita miliki.
Kondisi demografis ini berpotensi menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan perbaikan pada kualitas sumber daya manusia (SDM).
Menurut lembaga demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Rasio ketergantungan ini akan mencapai puncaknya pada tahun 2020-2025 dengan menyentuh angka 0, 46 yang artinya dari 100 orang produktif hanya menanggung 46 orang yang tidak produktif.
Ketua Umum PB HMI, Arief Rosyid Hasan menilai selama satu tahun usia pemerintah Jokowi-JK, Indonesia tergolong lambat dalam mempersiapkan pemanfaatan bonus demografi.
"Yang harus digaris bawahi adalah besarnya tingkat angkatan kerja yang kita miliki tidak serta merta meningkatkan pertumbuhan ekonomi," kata Arief di kantor PB HMI, Jakarta, Rabu (28/10/2015).
Ia menyatakan, Indonesia sejak tahun 2012 telah memasuki fase bonus demografi dan sampai sekarang belum ada kerangka kebijakan integral yang lebih fokus pada kelompok umur pemuda.
Pada tahun 2015 jumlah pemuda Indonesia mencapai angka 67,89 juta jiwa atau sebesar 26,57%. Artinya 1 dari 4 penduduk Indonesia adalah pemuda. Angka ini cenderung terus meningkat sampai tahun 2005.
Menurut dia, jika tak segera ditangani dengan baik, bonus demografi yang selama ini menjadi harapan untuk memajukan Indonesia dapat menjadi 'window of disaster' karena besarnya beban sosial yang harus ditanggung.
"Hal ini menjadi sangat mendesak mengingat peluang tersebut hanya akan terjadi dalam waktu yang relatif pendek," ujar Arief.
Karena itu, Arief menjelaskan, momentum sumpah pemuda seharusnya menjadi momen yang tepat dalam merevitalisasi peran strategis pemuda dengan menjadikannya sebagai prioritas pembangunan.
Sebab, kata dia, selama ini peran strategis pemuda dan torehan sejarah yang bermakna dalam kehidupan berbangsa seolah menjadi euphoria yang tanpa sadar membuat rakyat lupa bahwa nyatanya hari ini pemuda telah menjadi satu permasalahan yang harus dibenahi.
Jargon Revolusi Mental yang dicanangkan oleh pemerintahan Jokowi-JK mengisyaratkan pentingnya melakukan perubahan pada sistem mental bangsa agar dapat tetap bertahan di tengah tuntutan zaman.
Upaya dalam mencapai visi besar ini tentunya menjadi berada di pundak generasi muda yang nantinya akan menjadi penerus estafet pembangunan.
Sayangnya, setahun pemerintahan Jokowi-JK kita belum menemukan komitmen yang jelas untuk menempatkan pemuda sebagai prioritas pembangunan.
Publikasi Hasil Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang kondisi kepemudaan hari ini dan memberikan pemahaman tentang urgensi lahirnya Kerangka Kebijakan Kepemudaan Nasional sebagai pedoman dalam melakukan harmonisasi kebijakan lintas sektoral.(yn)