JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Dosen Ilmu Politik UI, Chusnul Mariyah mengatakan sejak awal menolak Pilkada langsung untuk kabupaten/kota. Alasannya karena pilkada langsung akan mempermudah asing untuk memecah-belah negara, mengingat maraknya money politics dan tidak adanya batasan dana kampanye.
“Terbukti pemilu kita lebih liberal dari Negara yang liberal Amerika Serikat. Uang di mana-mana tidak terbatas, sehingga petahana pasti diuntungkan,” kata dia di Jakarta, Kamis (12/11/2015)..
Seandainya, lanjut dia, kalau bupati, wali kota dan kepala desanya cerdas, dana itu bisa dimanfaatkan untuk program pembangunan di desa, pemberdayaan masyarakat, pendidikan dan kesehatan sebagai program prioritas.
“Hanya saja ada yang tidak prioritas. Inilah yang bisa dimanfaatkan di mana penggunaannya cukup mendapat persetujuan bupati/wali kota,” ujarnya.
Diakui, pemilu sebelumnya saja terbilang berat, karena bisa menghabiskan anggaran sekitar Rp 28,4 triliun.
Bahkan kata dia, tradisi buruk tersebut juga sudah terjadi di Pilkades, di mana untuk menjadi Kades ada yang menghabiskan Rp 10 M.
"Perlu aturan pembatasan dana kampanye (spanding limit) agar semua mempunyai kesempatan dan pelugang yang sama. Toh, amanat konstitusi itu pemilu adalah untuk mencerdaskan, mensejahterakan dan membahagiakan rakyat. Nah, dana desa itu untuk ini,” pungkasnya. (iy)