JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -Komisi VI DPR RI geram melihat nasib petani tebu di sejumlah daerah yang mengalami kerugian akibat tidak jelasnya mekanisme penentuan rendemen.
Anggota Komisi VI DPR RI M. Sarmuji menyatakan perlunya suatu alat yang bisa membuat penentuan rendemen lebih transparan.
"Jadi petani mengetahui secara persis berapa rendemen tebu yang dihasilkan dari kebunnya. Alat itu sebenarnya sudah mulai ada, cuma hanya diterapkan sangat kecil oleh pabrik gula," ucap Sarmuji di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (13/1/2014).
Dia mengatakan apabila ada alat yang bisa membuat mekanisme penentuan rendemen, maka petani tebu bisa mengetahui teknik dan cara menghasilkan tebu yang memiliki rendemen tersendiri. Saat ini, terang Sarmuji, mulai bermunculan kecurigaan petani adanya permainan oleh pihak perusahaan gula. "Ini jangan-jangan ada kongkalikong atau permainan penentuan rendemen itu," ujarnya.
Selain masalah rendemen, Sarmuji juga menilai gula impor, termasuk gula rafinasi yang bocor ke pasaran menjadi indikator rusaknya pasar tebu di Indonesia. "Kemarin Kemendag (Kementerian Dalam Negari) mengakui ada 11 persen lebih gula rafinasi merembes ke rumah tangga. Itu yang diakui. Kalau 11 itu diaku benar, itu berarti proses penentuan kuota selama ini berlebih," tandasnya.
Lebih lanjut, politisi Partai Golkar ini menegaskan bahwa gula impor rafinasi selama ini membuat harga gula dalam negeri menjadi hancur. "Kalau sekarang ini karena kelebihan gulanya itu diduga banyak sekali pertahun. Itu 11 persen lebih, kalau beberapa tahun berapa itu kelebihannya. Kalau 3 tahun saja sudah 33 persen dari kebutuhan. itu berapa juta ton," pungkasnya.(yn)