JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -Kehadiran salah satu anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Suharso Monoarfa dalam sidang sengketa PPP di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dinilai sebagai bentuk intimidasi terhadap hakim.
"Suharso itu kan baru saja dilantik oleh presiden sebagai Wantimpres dan dalam sidang hari ini dihadirkan untuk menjadi saksi. Sebagai penasihat hukum sebenarnya kami keberatan karena hal ini berkaitan dengan jabatannya sebagai Wantimpres," kata kuasa hukum PPP kubu Djan Faridz, Humprey Djemat dalam keterangannya yang diterima TeropongSenayan, Selasa (27/1/2015).
Seharusnya, terang Humprey, kubu Romahurmuziy atau Romi mengajukan saksi lain, karena Suharso sebagai anggota Wantimpres harus bersikap netral dan tidak boleh memperlihatkan keberpihakan politiknya sebagaimana diamanatkan UU No 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres.
"Dan seharusnya hakim bisa mempertimbangkan hal ini juga (terkait jabatan Suharso saat ini sebagai Wantimpres), namun hakim tidak menghiraukan protesnya tersebut," tuturnya.
Mengenai jalannya proses sidang, Humprey mengatakan keberatan dengan kesaksian yang diberikan oleh Suharso Monoarfa. Dimana pada saat di persidangan Suharso menyatakan bahwa ada ucapan selamat yang diberikan oleh Ketua Majelis Syariah PPP Maimoen Zubair (Mbah Moen) setelah diselenggarakannya muktamar di Surabaya.
"Namun saksi tidak mendengarkan langsung mbah moen bicara, akan tetapi mendengar dari orang lain. kami berharap keterangan ini tidak didengarkan oleh hakim sebab berdasarkan UU keterangan yang harus diambil adalah keterangan saksi yang saksi lihat sendiri, dengarkan sendiri dan alami sendiri. jadi kami menilai keterangan tersebut hanya sebagai testimonial dari pihak lain bukan fakta." jelas Humphrey.
Meski begitu lanjut Humprey, dalam keterangan yang diberikan Suharso, ada kesaksian yang menurutnya justru menguatkan kubu Djan Faridz, yaitu Suharso mengatakan bahwa sesuai dengan ketentuan AD/ART PPP, pasal 51 ayat 2, menyatakan muktamar dilakukan selambat-lambatnya satu tahun setelah pemerintahan baru dibentuk.
"Tapi kan nyatanya, muktamar di Surabaya itu dilakukan pada tanggal 15-17 Oktober 2014, dan pemerintahan baru baru terbentuk tanggal 20 Oktober 2014. Dengan demikian dipersoalkan keabsahan dari muktamar Surabaya," terangnya.(yn)