JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengklarifikasi kepada mantan Ketua DPR RI Ade Komarudin (Akom) soal namanya disebut menerima aliran dana KTP-e sebagaimana tercantum dalam putusan Majelis Hakim dengan terdakwa Irman dan Sugiharto .
"Terhadap saksi Ade Komarudin, penyidik mengklarifikasi indikasi aliran dana sebagaimana tercantum dalam pertimbangan hakim dalam putusan kasus KTP-e dengan terdakwa Irman dan Sugiharto," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Kamis (3/8/2017).
KPK memeriksa Ade Komarudin untuk tersangka Setya Novanto dalam penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (KTP-e).
Ade Komarudin menyatakan bahwa dirinya tidak pernah menjadi anggota Komisi II DPR RI saat pembahasan proyek pengadaan KTP-elektronik terjadi.
"Saya ingin jelaskan ke teman-teman agar pemberitaan sesuai dengan fakta persidangan. Misal, saya anggota Komisi II padahal saya ini dari 1997 anggota DPR sampai hari ini saya tidak pernah jadi anggota Komisi II," kata Ade seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Kamis.
Terkait hal itu, Ade mengatakan bahwa dirinya tidak terlibat dalam proses KTP-e mulai dari perencanaan, pembahasan maupun pelaksanaan proyek tersebut karena pada saat itu dirinya bertugas di Komisi XI.
"Saya tidak terlibat semuanya karena saya anggota Komisi XI. Sekarang saya anggota Komisi IX," kata Ade.
Ia pun menyatakan bahwa materi pemeriksaan kali ini sama seperti saat dirinya diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Irman dan Sugiharto serta Andi Agustinus alias Andi Narogong.
"Sama seperti yang lalu. Cuma konfirmasi dan tidak ada tambahan apa pun," kata Ade.
Sementara itu, terkait namanya yang turut disebut menerima 100 ribu dolar AS aliran dana proyek KTP-e pada putusan majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan terdakwa Irman dan Sugiharto, Ade menyatakan tidak terlalu memikirkannya.
"Saya lihat yang dibacakan Hakim saya pikir biasa-biasa saja, tidak ada apa-apa. Kalau soal penilaian, saya dengar Jaksa juga banding. Tetapi apa pun itu nanti kita lihat lagi," ucap Ade.
Sebelumnya, KPK telah memeriksa Ade Komarudin untuk tersangka Andi Agustinus alias Andi Narogong dalam kasus yang sama.
"Tidak ada yang berubah, waktu dipanggil untuk tersangka Irman dan Sugiharto sekarang kan tersangkanya Andi Narogong, pada waktu itu saya juga menyampaikan tidak kenal Andi Narogong. Tadi sama, pertanyaannya tak banyak berubah dan jawabannya juga seputar itu," kata Ade seusai diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Kamis (13/7).
Ade pun membantah telah menerima aliran dana KTP-e dari mantan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman yang dikirim oleh Ketua Panitia Pengadaan Proyek KTP-e saat itu Drajat Wisnu Setyawan.
"Kan bapak-bapak dan ibu-ibu sudah tahu karena itu di persidangan. Dalam sidang Pak Drajat ditanya, Pak Drajat bilang tak tahu," ucap politisi Partai Golkar tersebut.
Dalam putusan majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan terdakwa Irman dan Sugiharto juga disebutkan Ade Komarudin menerima 100 ribu dolar AS aliran dana proyek KTP-e.
KPK telah menetapkan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-E) tahun 2011-2012 pada Kemendagri.
"KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seorang lagi sebagai tersangka. KPK menetapkan saudara SN (Setya Novanto) anggota DPR RI periode 2009-2014 sebagai tersangka karena diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena kedudukannya atau jabatannya sehingga diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun dalam paket pengadaan KTP-e pada Kemendagri," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK Jakarta, Senin (17/7).
Setnov disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Sebelumnya, Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta pada Kamis (20/7) juga telah menjatuhkan hukuman penjara tujuh tahun kepada mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman dan lima tahun penjara kepada mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri Sugiharto dalam perkara korupsi proyek pengadaan KTP elektronik. (Ant/icl)