JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengaku tidak setuju pasal penghinaan presiden masuk kembali pada Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).
Bila itu sampai disahkan, tegas Fadli, maka Indonesia akan menjadi negara otoriter dan tidak lagi menjadi negara demokrasi.
"Jadi itu sebenarnya mahkamah konstitusi sudah memutuskan juga di masa lalu, jadi tidak perlu lagi ada pasal-pasal itu," kata Fadli di Hotel Royal Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (3/2/2018).
Politisi Gerindra ini menegaskan, Indonesia sebagai negara demokrasi tidak memerlukan hukum besi yang memasung hak berpendapat orang lain.
Harusnya, ungkap Fadli, ada Undang-Undang yang melindungi orang-orang kritis kepada presiden.
"Jadi masa lalu, pemimpin-pemimpin itu seperti Bung Karno dan Bung Hatta bukan karena itu pemimpin harus dikritik, tapi harus bisa dikritik," ujarnya.
"Di Inggris ya, perdana menteri biasa saj dikritik di depan umum. Saya rasa tidak perlu ya itu, jadi itu membuat demokrasi ini mundur. Jangan jadi pasal karet," paparnya.
Diketahui, penghinaan kepada presiden itu terdapat pada Pasal 263 ayat (1) berbunyi "Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV."
Lalu pada ayat (2) Pasal 263 berbunyi "Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum, demi kebenaran, atau pembelaan diri."
Kemudian di pasal 264 berbunyi, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertujukan, atau menempelkan tuliasan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman, sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluasakan dengan sarana tekonologi informasi, yang berisi penghinaan terhahap Presiden dan Wakil Presiden dengan maksud agar pasal penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak kategori IV. (icl)