Keadilan sosial (social justice) adalah salah satu prinsip atau asas dari ideologi bangsa Indonesia, Pancasila. Sebagai sebuah prinsip, maka ia (seharusnya) memiliki posisi yang lebih tinggi dari konstitusi. Oleh kerena itu, semua peraturan (regulations) dan kebijakan (policy) yang dibuat oleh negara, harus mengandung nilai (value) yang dideduksi dari prinsip tersebut. Jika yang terjadi sebaliknya, maka dapat dikatakan sebagai perbuatan yang melawan ideologi negara.
Jika kita berbicara mengenai keadilan sosial, maka negara harus memastikan bahwa setiap individu diberikan hak dan kesempatan yang sama baik secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh kesejahteraan dan perlakuan yang setara. John Rawls, seorang filsuf yang merumuskan theory of justice (1971) mengatakan bahwa keadilan itu “each person possesses an inviolability founded on justice that even the welfare of society as a whole cannot override. Hampir semua gagasan tentang keadilan sosial menyoroti satu frase kunci: kesejahteraan masyarakat.
Dalam sejarahnya, keadilan sosial nyaris menjadi persoalan kebangsaan dan kemasyarakatan yang abadi. Di setiap fase peradaban manusia, selalu saja muncul ketidakadilan, baik yang disebabkan oleh kekuasaan yang despotik maupun oleh rendahnya tingkat keadaban masyarakatnya. Namun, dalam sejarah manusia modern, tingkat keadaban dan penalaran umat manusia sudah relatif maju, sehingga ketidakadilan sosial lebih sering diakibatkan oleh hadirnya penguasa-penguasa yang zalim dan tidak adil.
Demikian pula dalam sejarah Indonesia modern, sejak era kolonialisme hingga reformasi, bangsa ini belum sepenuhnya terbebaskan dari kebijakasan dan tindakan penguasa yang kerapkali tidak selaras dengan spirit keadilan sosial. Bahkan, tidak jarang nilai-nilai keadilan sosial dalam Pancasila hanya diekspresikan secara simbolik, tapi tidak mengaktualisasikan substansinya.
Meskipun demikian, sejarah mencatat bahwa sejak dahulu Tuhan tidak pernah absen mengirim utusan-utusannya untuk memperjuangkan keadilan sosial. Jika dahulu diutus nabi-nabi untuk memerangi penguasa despotik dan memperbaiki struktur yang menindas, maka di era modern ini peran para nabi itu digantikan oleh para pembaharu, oleh para aktivis dan para pejuang yang sadar serta insyaf akan tanggungjawab kemasyarakatan. Orang bijak mengatakan, setiap zaman ada tokoh pejuangnya, dan setiap tokoh pejuang ada zamannya. Namun, sejatinya ketokohan itu tidak pernah mati, selama para pejuang yang ada terus memperjuangkan nilai kebenaran dan keadilan. Meski raga mereka mati, warisan nilai-nilai keadilan akan terus hidup di setiap relung jiwa para pejuang.
Perjuangan Aktivis Never Ending Goal
Keadilan sosial sempat menjadi pekerjaan rumah di tahun 80an hingga 90an. Di masa itu, muncullah banyak aktivis yang kritis terhadap kekuasaan, terutama dari kaum epistemik kampus (mahasiswa). Para aktivis di zaman itu adalah mereka yang mampu membaca fenomena sosial, ekonomi dan politik secara nyata (real) di lapangan. Mereka melebur dan menyatu dengan masyarakat, baik di desa maupun di kota, terutama orang-orang miskin dan tidak berdaya yang diperlakukan tidak adil atas nama pembangunan (development) dan pertumbuhan (growth). Sehingga pada waktu itu muncul istilah developmentalisme atau pembangunanisme, sebuah obsesi membangun negeri namun dengan bantuan utang luar negeri. Di waktu yang sama, kelas menengah-terdidik tidak diberikan ruang kebebasan mengeluarkan pendapat.
Hari ini, agaknya perjuangan veteran aktivis 80an hingga 90an belum usia (dan memang perjuangan tidak akan pernah berhenti). Sejak era reformasi, rupanya masih banyak bermunculan ketidakadilan sosial gaya baru. Indikatornya, kita masih melihat bagaimana negara nyaris tidak berdaya dalam mengendalikan kekuatan kapitalisme global, sehingga pembangunan yang ada hanya mempelebar jurang antara si kaya dan si miskin. Secara kuantitatif, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh gini ratio sampai September 2017 berada di angka 0,391. Hal ini seolah meyakinkan kita bahwa cita-cita keadilan sosial yang diamanahkan oleh Pancasila semakin jauh dari harapan.
Untuk itu, para veteran aktivis 80an dan 90an merasa terpanggil kembali untuk berkontribusi dalam melawan ketidakadilan sosial di zaman now. Sejak awal mereka sudah concern terhadap issue-issue pembangunan yang menyejahterakan rakyat. Untuk itu, kekuasaan dan kebijakan negara perlu diwarnai oleh semangat perjuangan dari para aktivis tersebut.
Perjuangan Anies Tentang Keadilan Sosial.
Apa kepentingan seorang Anies Baswedan tentang keadilan sosial? Jika kita memiliki sedikit waktu untuk mencari tahu, cobalah untuk mengetik keywords di google: “Anies Baswedan” dan “Keadilan Sosial”.
Ternyata, ada banyak sekali informasi mengenai visi dan misi Anies Baswedan dalam memperjuangkan keadilan sosial. Jika kita masih ingat, sedikit mengingat ke belakang, pada saat Pilkada DKI, Anies-Sandi menawarkan visi dan misi sebagai berikut: “Jakarta kota maju dan beradab dengan seluruh warga merasakan keadilan dan kesejahteraan.” Visi ini lebih diperjelas lagi dengan misi: Membangun manusia Jakarta menjadi warga yang berdaya dengan menghadirkan kepemimpinan humanis dan mengayomi, penggerak birokrasi yang efektif, menjaga stabilitas dan keterjangkauan harga bahan pokok, membangun sektor kesehatan, pendidikan, kebudayaan serta menyelesaikan masalah-masalah sosial.
Jika kita jeli membacanya, maka kata “keadilan” dan “kesejahteraan” menjadi dua hal yang sangat digarisbawahi oleh Anies Baswedan. Setelah pelantikan sebagai gubernur, ia mengatakan “Jika republik ini telah menetapkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka di Ibu Kota, kita harus hadirkan keadilan sosial bagi seluruh warga Jakarta ". Bahkan dirinya menegaskan “Hari ini penanda awal perjuangan dalam menghadirkan keadilan,” katanya dalam pidato politik pertamanya di Balai Kota, Senin malam, 16 Oktober 2017.
Al hasil, statement tersebut bukan isapan jempol belaka. Anies Baswedan berkomitmen dan konsisten dalam memperjuangkan keadilan sosial bagi warga Jakarta. Baru-baru ini, meski dilaporkan terkait dengan kebijakan Tanah Abang, ia tetap berkata: “ketika kita berjuang untuk menegakkan keadilan, tentu akan banyak masalah”. Oleh karena itu, perjuangan Anies dalam mewujudkan keadilan sosial tidak bisa dilakukan sendiri. Para aktivis 80an dan 90an terdorong untuk berdiri di barisan terdepan bersama Anies Baswedan demi mewujudkan cita-cita keadilan sosial bagi bangsa Indonesia. Karena keadilan sosial adalah prinsip yang tidak akan terwujud hanya melalui wacana, namun aksi dan gerakan nyata dari para aktivis untuk merealisasikannya. That’s what activists for!(*)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #