JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Kebijakan pemerintah mengimpor garam 3,7 juta ton dikritik sejumlah kalangan. Wakil Ketua Komisi VI DPR Bowo Sidik Pangarso mengatakan, tidak ada yang perlu diperdebatkan soal kebijakan tersebut, yang akan dilakukan Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Sebab, lanjut dia, apa yang akan dilakukan Kemenperin merupakan tugas dari pemerintah yang didasari aturan.
"Sudah pas konteksnya kalau impor garam dilakukan Kemenperin jika garam impor ditujukan untuk keperluan industri. Yang salah itu, jika impor garam kebutuhan industri dipakai untuk konsumsi rumah tangga. Ini yang tidak benar," tandas salah satu Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar itu kepada wartawan di Jakarta, Minggu (18/03/2018).
Sebaiknya, kata Bowo, jika melihat impor garam yang akan dilakukan Kemenperin harus dilihat dari berbagai sudut pandang.
"Tidak dilihat secara kaku. Harus dipahami bahwa garam itu kebutuhannya ada untuk garam rumah tangga, dan ada juga buat garam industri. Nah, sekali lagi sepanjang untuk kebutuhan industri, maka itu sudah tepat jika Kemenperin diberikan kewenangan itu, karena Kemenperin yang lebih tau kebutuhan garam untuk industri," klaim dia.
Untuk itu, menurutnya, kebijakan tersebut tidak perlu dibesar-besarkan apalagi sampai dikait-kaitkan ke ranah politik.
"Seperti yang diakatakan ekonom UI Faisal Basri dimana kebijakan impor garam oleh kemenperin hanya untuk kepentingan Pilpres. Saya kira pernyataan Faisal Basri gak masuk akal kalau dikaitkan kesitu dan terlalu berlebihan,” tegasnya.
"Jangan sepotong-sepotong kalau menilai sebuah kebijakan itu harus utuh. Tidak bisa di generalisir begitu saja dari satu sudut pandang," imbuhnya.
Politisi sekaligus ekonom Faisal Basri mengatakan ada pembusukan dalam tubuh pemerintahan Presiden Joko Widodo. Kritik itu dilontarkan Faisal melalui akun Twitter @Faisal Basri.
"Terjadi pembusukan di dalam pemerintah sendiri, mengarah pada ungoverned government," kicaunya Sabtu (17/3/2018).
Menurutnya, pemerintah main tabrak dalam menelurkan kebijakan. Dia mencontohkan, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah atau PP yang bertentangan dengan aturan di atasnya.
"Contoh terkini: PP No. 9/2018. Impor impor garam dan ikan tak perlu rekomendasi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Untuk kepentingan siapa?," ujarnya.
Akibat hal itu dia menyebut, bermunculan perusahaan baru yang tiba-tiba dapat jatah impor garam.
"Perusahaan yang perlu garam tak dapat. Jadi heboh industri makanan mengancam berhenti produksi," katanya.
Dia pun menilai lisensi impor suah diobral. Sehingga importir umum boleh impor tekstil serta perusahaan baru berdiri dapat kuota impor garam.
"Pantas neraca perdagangan defisit 3 bulan berturut-turut, membuat rupiah loyo," lanjut dia.(yn)