Berita
Oleh Ferdiansyah pada hari Rabu, 19 Sep 2018 - 09:18:33 WIB
Bagikan Berita ini :

Dinilai Banyak Kejanggalan, Hakim Tipikor Diminta Bebaskan SAT

60Syafruddin-Temenggung-Alus.jpg.jpg
Syafruddin Arsyad Temenggung (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut mantan Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) dengan hukuman penjara 15 tahun ditambah denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan.

Menurut Chairman InfoBank Institute (IBI) Eko B Supriyanto, banyak kejanggalan dalam tuntutan tersebut. Untuk itu, ia meminta majelis hakim Pengadilan Negeri Tipikor lebih mengedepankan aspek keadilan dan menghormati hak-hak asasi manusia.

"Melihat fakta-fakta yang muncul di persidangan, majelis hakim semestinya memutuskan dengan jernih, tidak tunduk pada tekanan publik, termasuk bila harus membebaskan SAT dari hukuman," kata Eko dalam keterangannya, Selasa (18/9/2018).

Lebih lanjut Eko menuturkan, terdapat sejumlah kejanggalan dalam persidangan kasus SAT di Pengadilan Tipikor karena beberapa fakta hukum justru tidak memperkuat tuduhan jaksa KPK.

Beberapa kejanggalan tersebut di antaranya pertama, masalah audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam kerangka penyelesaian masalah BLBI-BDNI tersebut, BPK telah melakukan audit pada 2002 dan 2006. Hasilnya, seluruh kewajiban SN sudah dilunasi dan tidak ditemukan masalah. Laporan Audit Investigatif BPK 2017 diminta oleh KPK setelah SAT ditetapkan sebagai tersangka, yang hasilnya bertolak belakang dengan dua audit BPK sebelumnya, yaitu terdapat kerugian negara dalam penyelesaian BLBI-BDNI.

"Audit investigatif tersebut tidak memenuhi standar pemeriksaan keuangan yang diatur oleh BPK sendiri, yaitu Peraturan BPK No. 1 Tahun 2017, khususnya butir 21 sampai dengan 26. Sesuai dengan Pasal 6 ayat 5 UU BPK, suatu laporan audit harus memiliki pihak yang diperiksa (auditee) dan harus dikonfirmasi ke auditee-nya, serta harus menggunakan data primer. Tapi dalam Laporan Audit Investigatif BPK 2017 tersebut tidak ada auditee yang diperiksa, dengan sendirinya tidak pernah terkonfirmasi. Data yang digunakan bukan data primer, melainkan data sekunder," beber dia.

Kedua, urai Eko, masalah misrepresentasi. Ahli hukum perdata Nindyo Pramono dalam kesaksiannya menyatakan, dalam suatu perjanjian perdata, termasuk dalam hal ini Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), penetapan terjadi misrepresentasi atau tidak, harus melalui keputusan pengadilan. Karena dalam hukum perdata suatu misrepresentasi tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.

"Jalurnya digugat dahulu di perdata, dibuktikan dahulu misrepresentasi atau tidak," kata Eko menirukan pendapat Nindyo Pramono.


Ketiga, masalah kerugian negara. Ketika BPPN dibubarkan maka hak tagih beralih ke Kementerian Keuangan. BPPN telah menyerahkan hak tagih atas aset BDNI senilai Rp 4,8T pada 2004, namun kemudian aset tersebut dijual oleh Menteri Keuangan pada 2007 senilai Rp 220 M.

"Jadi yang menjual aset tersebut bukan SAT ketika menjadi Ketua BPPN, melainkan Menteri Keuangan saat itu," tandasnya.

Diketahui, dalam persidangan itu, SAT dinilai telah memperkaya orang lain atau korporasi atas penerbitan surat keterangan lunas (SKL) terhadap pemegang saham (PS) Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) sebagai penerima Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI).

SAT dianggap melanggar Pasal 2 Undang-Undang Tipikor jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Penerbitan SKL oleh Syafruddin dinilai jaksa merupakan perbuatan melawan hukum karena pada proses penyelesaian BLBI telah terjadi misrepresentasi oleh pemegang saham mayoritas BDNI, Sjamsul Nursalim (SN).(yn)

tag: #kasus-blbi  #korupsi-blbi  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement