Oleh Sahlan Ake pada hari Senin, 18 Agu 2025 - 06:29:52 WIB
Bagikan Berita ini :

Hardjuno Wiwoho Dukung DPR RI Ungkap Skandal BLBI-BCA

tscom_news_photo_1755473392.jpg
Hardjuno (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Anggota DPR RI dari Fraksi PKB mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut tuntas dugaan skandal BLBI–BCA, setelah ekonom Sasmito Hadinegoro menyebut penjualan 51 persen saham Bank Central Asia (BCA) pada awal 2000-an bermasalah dan merugikan negara.

Menanggapi hal itu, pengamat hukum dan pembangunan, Hardjuno Wiwoho, menilai pernyataan DPR sangat relevan untuk mengingatkan kembali publik terhadap kasus lama yang belum tuntas.

“Momentum ini penting. Jangan sampai bangsa ini terus dibebani skandal masa lalu yang tidak pernah selesai. Saya mendukung statement dari Fraksi PKB mengenai skandal BLBI-BCA harus diungkap” kata Hardjuno kepada wartawan, Minggu (17/8).

Penjualan BCA Tidak Penuhi Prinsip Tata Kelola

Hardjuno menjelaskan, penjualan saham BCA kepada pihak swasta pada 2002 seharusnya dilakukan dengan mengedepankan prinsip good corporate governance. Namun, seperti disorot oleh Sasmito, transaksi tersebut tidak memenuhi standar tata kelola yang sehat.

“Nilai jual hanya sekitar Rp5 triliun, padahal BCA punya aset Rp117 triliun dan memegang Obligasi Rekap senilai Rp60 triliun. Angka ini tidak sebanding dengan valuasi sebenarnya. Dari kacamata hukum dan tata kelola, patut diduga ada persoalan serius,” ujarnya.

Masih Ada Utang BLBI

Lebih jauh, Hardjuno mengingatkan bahwa sebagai mantan staf ahli Panitia Khusus (Pansus) BLBI DPD RI, ia pernah menemukan catatan bahwa BCA *bisa diduga* masih memiliki kewajiban terkait BLBI sebesar Rp26,596 triliun. “Ini bukan angka kecil. Sampai hari ini, publik perlu tahu apakah kewajiban itu sudah benar-benar dilunasi atau tidak,” katanya.

Menurutnya, masalah BLBI tidak bisa dipandang selesai hanya dengan pembentukan Satgas. “Transparansi harus jelas, akuntabilitas harus ditegakkan. Kalau tidak, rakyat yang akan terus menanggung bebannya,” tegas Hardjuno yang kini kandidat doktor Hukum Pembangunan Universitas Airlangga.

Obligasi Rekap, Beban Panjang Negara

Selain itu, Hardjuno juga menyoroti keberadaan Obligasi Rekap (OR) yang pernah dimiliki BCA. Obligasi yang diterbitkan pemerintah untuk menyehatkan perbankan pasca-krisis itu menimbulkan beban bunga besar.

“Negara telah membayar bunga rata-rata Rp7 triliun per tahun hingga 2009, dengan total mencapai Rp60,8 triliun. Itu artinya, APBN kita tersedot untuk menutup kebijakan masa lalu, sementara kewajiban pihak swasta belum selesai,” ujarnya.

Pidato Presiden Jadi Sinyal

Hardjuno menambahkan, pidato Presiden Prabowo Subianto pada 16 Agustus 2025 di Sidang Tahunan MPR memberikan sinyal tegas agar negara tidak kalah dari konglomerat nakal. “Presiden menegaskan tidak ada yang kebal hukum. Itu selaras dengan semangat Hari Kemerdekaan: bangsa ini harus merdeka dari beban skandal ekonomi yang menghantui sejak masa lalu,” tegasnya.

Hardjuno menegaskan, kombinasi desakan DPR, kajian akademisi, serta komitmen Presiden harus ditindaklanjuti dengan langkah nyata. “Kalau negara sungguh-sungguh ingin merdeka secara ekonomi, maka kasus BLBI–BCA ini harus dituntaskan. Jangan sampai sejarah mencatat kita gagal menegakkan keadilan,” ujarnya.

tag: #kasus-blbi  #dpr  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
HUT R1 2025 AHMAD NAJIB
advertisement
HUT RI 2025 M HEKAL
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
HUT RI 2025 SOKSI
advertisement