JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sejumlah kalangan mengapresiasi langkah Presiden Jokowi yang baru saja membebaskan terpidana terorisme Abu Bakar Ba’asyir.
Namun demikian, tak sedikit juga yang menilai keputusan itu sarat muatan politis. Bahkan, ada pula yang mulai menyangsikan tekad Jokowi memberantas terorisme.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Terorisme yang juga Rektor IAIN Pontianak M. Syarif mengatakan, keputusan itu sebaiknya tidak ditanggapi reaksioner di luar kerangka politik hukum dan kebijakan. Sebaliknya, pertimbangan di balik putusan itulah yang sangat penting diuji.
“Pertimbangannya kan kemanusiaan, sudah sepuh 81 tahun, kesehatannya menurun, sakit-sakitan, butuh perawatan khusus bersama keluarga,” katanya, Sabtu (19/1/2019).
Menurut Syarif, pertimbangan itu cukup bijaksana mengingat aspek kemanusiaan atau Hak Asasi Manusia merupakan salah satu landasan dan paradigma hukum di Indonesia.
Apalagi pada akhir 2018 lalu, Ba’syir sudah waktunya masuk pembebasan bersarat. Apalagi, Ba’asyir telah menjalani masa hukumannya selama 9 tahun sejak divonis 15 tahun penjara.
“Saya kira Presiden mengambil langkah ini tidak terlepas dari salah satu strategi pemberantasan terorisme dengan pendekatan kemanusiaan. Bukan hanya pendekatan reperesif semata. Karena tidak bisa dibantah alasan kemanusiaan itu bukan di buat-buat. Beliau sudah sepuh, 81 tahun. Beliau sakit-sakitan, beliau sudah menjalani hukuman 9 tahun di dalam penjara,” ungkap Syarif.
Ia juga menyatakan, ketakutan terhadap kemungkinan terjadinya ancaman teror pasca dibebaskannya Ba’asyir sangat berlebihan. Sebab di samping sudah tua, Ba’asyir juga sudah ditinggal pengikut setianya dan sudah terputus dengan jaringan ekstrimis, seperti Jaringan Anshar Daulah (JAD) dan Jaringan Ansharut Syiah (JAS).
“Enggak usah khawatir, aparat kita sangat paham soal ini,” katanya.
"Dan pasti jika ada indikasi Pak Abu Bakar Ba'asir akan berbuat teror lagi, tinggal dicabut saja pembebasan bersyaratnya dan di tahan lagi," ungkap dia.
Hanya saja, menurut dia, yang justru membuat dirinya heran, ketika ada sebagian pihak menyalahkan keputusan itu serta menuduh Jokowi tidak komit terhadap penanggulangan terorisme.
Padahal, sambungnya, pencegahan dan penanganan aksi-aksi terorisme sangat progresif di era Jokowi ini. Pola pendekatan Jokowi dalam penanggulangan terorismes tidak hanya tindakan repersif tapi mulai juga masuk ke pola pendekatan kemanusian.
Mestinya, lanjut dia, semua pihak apresiasi langkah tersebut. Bukan malah semua dikaitkan dengan elektabikitas Jokowi yang naik gara-gara ini. Padahal, memang secara keseluruhan elektabilitas Jokowi memang naik karena kinerja dia diakui rakyat, bukan karena tindakan kemanusiaan Jokowi kepada Abu Bakar Ba'asir.
“Ketegasan pemberantasan terorisme di Indonesia sangat tegas, ini fakta nya. Tahun 2018 saja ada 396 terduga teroris yang ditangkap. Kemampuan polisi kita canggih, punya sistem deteksi dini dan diakui dunia. Kurang apa lagi?” ungkapnya.
Ia pun menilai, keputusan membebaskan Ba’asyir sama sekali tak ada hubungannya, juga tak akan pengaruhi tekad pemerintah dalam menanggulangi terorisme. Keputusan itu juga bukanlah bentuk kompromi dengan kelompok teroris.
Keputusan itu menunjukkan pada dunia bahwa penanganan terorisme di Indonesia sangatlah mengedepankan HAM.
“Artinya, pemerintahan Jokowi itu humanis namun sangat tegas soal terorisme,” pungkasnya. (Alf)